Quo Vadis Kepemimpinan Milenial?
Tonggak pra kemerdekaan Indonesia dibangun atas semangat nasionalisme dan patriotisme yang digaungkan pemuda. Bagaimana warisan semangat itu bisa mewarnai pembangunan negeri dewasa ini?
SPIRIT kepemimpinan para pemuda itu membentuk prasastinya pada 28 Oktober 1928. Saat itu anak-anak muda membangun spirit tersebut untuk mempersatukan hingga memproklamasikan kedaulatan, kebangsaan, dan bahasa. Kentara sekali, jiwa muda dan kepemimpinan tertanam lekat dalam mempertaruhkan harga mati kemerdekaan.
Dewasa ini arus globalisasi mengakibatkan kehidupan berbangsa dan bernegara semakin kompleks dan akut. Sehingga perlu ada formulasi baru untuk mendobrak problematika tersebut. Permasalahan itulah yang sejatinya dapat diamanahkan kepada para kaum muda untuk mempromosikan wacana kepemimpinan milenial.
Kepemimpinan nasional saat ini dipenuhi generasi lama yang secara etis dan praktis tidak mampu menyelesaikan problem-problem dan keterpurukan bangsa. Kepemimpinan dan keterwakilan kaum muda diharapkan menjadi formula penyelesaian masalah (problem solving) dan mengangkat bangsa dari jerat krisis multidimensi.
Pada 17 Juli 2018, batas akhir pendaftaran bakal calon anggota legislatif (bacaleg), kita disuguhi pemandangan baru dalam momentum itu. Yakni, kaum milenial berbondong-bondong membanjiri kantor KPU daerah hingga pusat untuk mendaftar. Bukan hanya parpol yang berhaluan kaum muda (milenial) seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang memang diproyeksikan sebagai wadah para pemuda yang ingin terjun ke bidang politik, hampir semua parpol juga memiliki stok bacaleg milenial.
Tidak mau kalah, dunia entertainment pun ”mengirim” kadernya yang juga ingin berkecimpung di dunia politik. Fenomena tersebut bukan hal yang baru dan mengejutkan. Sebelumnya ada Anang Hermansyah, Rieke Diah Pitaloka, Venna Melinda, dan masih banyak lagi. Kini muncul wajah-wajah baru yang akan mewarnai Pemilu 2019 seperti Tina Toon, Adly Fairuz, dan Giring Ganesha.
Urgensi kepemimpinan muda tak lagi hanya dijadikan narasi (wacana). Sebab, memang saat ini kita membutuhkan spirit muda, pemimpin yang agresif dan aktif merespons aspirasi masyarakat. Mantan Ketua MPR Taufiq Kiemas pernah mengatakan, ”Regenerasi harus mulai sekarang. Masak presiden AS makin lama makin muda. PM Inggris makin lama makin muda. Sedangkan presiden Indonesia makin lama makin tua dan berumur.”
Akan tetapi, pernyataan tersebut mendapatkan beragam respons dari beberapa tokoh kala itu. Salah satunya Jusuf Kalla (JK), wakil presiden saat ini. ”Bukan persoalan senior dan junior atau tua dan muda, melainkan lebih pada siapa yang mampu dan tidak mampu. Kalau mengurus organisasi boleh-boleh saja pakai ukuran senior dan junior. Tapi, untuk mengurus bangsa, harus diukur kemampuannya, track record-nya.”
Memberdayakan regenerasi pemimpin di negara ini sulit karena ambisi untuk merebut atau memegang kekuasaan terjadi masif. Contohnya gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ketentuan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang diajukan Muhammad Hafidz dari Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi (Perak) serta Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS).
Dalam hal ini JK mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yakni pasal 169 huruf N dan pasal 227 huruf I. Asumsi dan spekulasi muncul di tengah-tengah publik terkait gugatan tersebut. Yakni anggapan soal upaya akomodasi ambisi politik dan ekspresi ambisi politik dari JK sendiri.
Gugatan tersebut ditolak MK karena pemohon tidak memiliki legal standing yang kuat. MK juga menimbang tidak adanya kerugian konstitusional yang dialami para pemohon, baik yang bersifat aktual maupun potensial.
Jika hal tersebut sering dilakukan, itu akan jadi penghambat regenerasi yang seyogianya bisa memberikan warna baru dalam kepemimpinan. Sirkulasi dan peralihan kepemimpinan penting terjadi karena generasi tua di negeri ini sudah terlalu banyak. Padahal, generasi muda saat ini sudah dinilai sangat siap untuk meneruskan estafet kepemimpinan yang lebih baik dalam rangka membesarkan negeri ini. *Mahasiswa Hukum Pidana Islam, Peserta Sekolah Intelektual di Intellectual Movement Community (IMC) IAIN Jember
Sebab, memang saat ini kita membutuhkan spirit muda, pemimpin yang agresif dan aktif merespons aspirasi masyarakat.