Suku Bunga Kredit Merangkak Naik
Target Pertumbuhan Ekonomi Terancam
JAKARTA – Pengetatan moneter mulai berdampak pada kenaikan suku bunga kredit dan deposito. Merujuk Laporan Harian Bank Umum (LHBU), secara year to date (Januari sampai pekan ketiga Juli), kenaikan bunga kredit mencapai 4,56 persen dan secara tahunan atau year-on-year (YoY) sebesar 11,3 persen. ’’Angka LHBU ini masih bisa dikoreksi. Menunjukkan informasi, tapi masih angka temporer,’’ kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara di Gedung BI kemarin (27/7).
Sebelumnya, BI menaikkan suku bunga acuan secara agresif hingga 100 basis poin (bps). Saat ini suku bunga BI 7-Day Repo Rate bertengger di angka 5,25 persen. Pada awal kenaikannya, kebijakan otoritas moneter tersebut belum terasa.
Mirza menuturkan, bunga kredit modal kerja tercatat 11,97 persen pada April 2018. Pada Juli ini terdapat kenaikan 16 bps menjadi 12,13 persen. Sementara itu, bunga deposito perbankan pada April 2018 tercatat 5,56 persen, kemudian naik 15 bps pada Juli 2018 menjadi 5,71 persen. Menurut dia, kenaikan suku bunga kredit maupun deposito masih cukup terkontrol karena tingkat kenaikannya tidak besar.
’’Rata-rata bunga deposito satu bulan naik jadi 5,71 persen. Tidak terlalu besar. BI melakukan adjustment untuk menghadapi gejolak global. Ekonomi domestik masih memerlukan stimulus, BI melakukan pelonggaran makro dan mencukupi likuiditas,’’ katanya.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan, kombinasi antara kenaikan bunga kredit dan bunga simpanan justru membuat masyarakat memilih menyimpan uang di bank dan menahan diri untuk meminjam kredit baru. Apalagi, di tengah ketidakpastian ekonomi dan pelemahan kurs rupiah, masyarakat, khususnya kelas menengah, akan meng- alihkan sebagian uang pendapatan ke bank. Jika simpanan di bank terlalu besar, sedangkan pertumbuhan kreditnya melandai, akan mengganggu fungsi intermediasi perbankan.
Bagi pelaku usaha, naiknya bunga kredit mengakibatkan cost of borrowing atau biaya pinjaman meningkat. Itu akan ditransmisikan ke kenaikan harga barang produksi lokal. Omzet pelaku usaha turun. Imbasnya, masyarakat sebagai konsumen harus membayar lebih barang yang dibeli. ’’Efeknya akan kontraktif ke perekonomian alias menghambat pertumbuhan ekonomi. Era bunga mahal membuat ekonomi tahun ini hanya tumbuh maksimal 5,1 persen jauh di bawah target APBN 5,4 persen,’’ tuturnya kemarin.