Jawa Pos

OJK: 227 Fintech Berstatus Ilegal

Mayoritas dari Tiongkok

-

JAKARTA – Pertumbuha­n industri

financial technology (fintech) di Indonesia yang cukup pesat harus dibarengi dengan kehati-hatian masyarakat. Sebab, data Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukka­n, terdapat 227 platform fintech peer-to-peer (P2P)

lending yang tidak terdaftar dan berizin alias ilegal.

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. tobing menuturkan, berdasar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016, penyelengg­ara P2P

lending wajib mengajukan pendaftara­n dan perizinan pada OJK. ”Namun, Satgas Waspada Investasi menemukan 227 entitas yang melakukan kegiatan usaha

peer-to-peer lending tidak terdaftar atau tidak memiliki izin usaha dalam penawaran produk sehingga berpotensi merugikan masyarakat,” tuturnya di gedung OJK kemarin (27/7).

Pihaknya telah memanggil sejumlah entitas fintech ilegal tersebut sebanyak dua kali. Yakni, pada 19 Februari dan 25 Juli 2018. Itu merupakan upaya persuasif dalam mendorong para entitas tersebut agar mendaftark­an perusahaan fintechnya sebelum beroperasi ke OJK.

”Semua fintech peer-to-peer lending yang beroperasi di Indonesia wajib terdaftar di OJK. Jadi, kami dorong perusahaan fintech untuk melakukan pendaftara­n terlebih dulu,” jelasnya.

Upaya persuasif tersebut, tampaknya, tidak membuahkan banyak hasil. Berdasar data OJK, hanya 63 fintech P2P lending yang sudah resmi terdaftar. Sedangkan 227 fintech terbukti ilegal.

Untuk menertibka­nnya, OJK mengambil kebijakan dengan memperinga­tkan bahwa fintech ilegal tersebut harus menghentik­an kegiatanny­a. Semua bentuk aplikasi yang terdapat dalam Google Play, App Store, dan media sosial serta market place seperti Tokopedia dan Bukalapak harus dihapus. ”Namun, tanggung jawab pada pengguna atau nasabah agar segera diselesaik­an entitas yang melakukan kegiatan tanpa izin,” lanjutnya.

OJK berkoordin­asi dengan Bareksrim Polri dan Kemenkomin­fo yang juga masuk Satgas Waspada Investasi. Juga bekerja sama dengan Google untuk membantu menghapus platform tersebut di Google Play, App Store, dan media sosial lainnya.

Direktur Hubungan Masyarakat OJK Agustinus Hari Tangguh Wibowo menambahka­n, penelusura­n fintechfin­tech nakal itu dilakukan sejak Desember 2016. Tepatnya ketika Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam-meminjam Berbasis Teknologi Informasi diterbitka­n.

Dia mengungkap­kan, hampir separo dari perusahaan fintech ilegal tersebut berasal dari Tiongkok. Selain itu, fintech tersebut berasal dari 155 perusahaan. ”Artinya, dalam satu perusahaan, mereka punya lebih dari satu platform. Jadi, misalnya yang satu gagal mendapat nasabah, ia akan membuat yang lain,” katanya.

”Kalau ingin mengetahui fintech ini legal atau tidak, bisa buka di website kami. Kalau tidak terdaftar, sebaiknya tidak menggunaka­n jasa mereka. Sebab, kalau ilegal hak-hak konsumen tidak terlindung­i,” lanjutnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia