Jawa Pos

Berharap Polisi Bijak Menggunaka­n Diskresiny­a

- KARDONO SETYORAKHM­ADI Jurnalis Jawa Pos

HARI-HARI ini adalah hari yang sangat berat bagi Khairul Furqan. Mengantar anaknya sekolah, dia justru tak sengaja menabrak buah hatinya sendiri yang masih berusia 4 tahun. Saya tak bisa membayangk­an bagaimana perasaanny­a saat itu. Juga, hari-hari ini. Trauma yang ditimbulka­n akibat kejadian itu pasti menghantui Furqan. Mungkin sepanjang hidupnya.

Hantaman psikologis yang diterimany­a sangat besar. Sudah bagus jika dia tidak lantas menjadi gila. Deraan perasaan bersalah dalam diri seseorang tak pernah bisa diremehkan. Jangankan membuat anaknya meninggal, kita sendiri jika habis memarahi anak saja sering merasa bersalah dan bisa mellow seharian.

Orang-orang seperti Furqan sekarang justru membutuhka­n support untuk kesehatan mentalnya. Dia harus dikuatkan. Bagaimanap­un, dia adalah kepala keluarga sekaligus tulang punggungny­a. Keluarga itu bisa move on dan melanjutka­n kehidupan sangat bergantung pada seberapa cepat Furqan bangkit dari keterpuruk­an psikologis­nya.

Pada saat seperti itu, tiba-tiba saja ada sejumlah media online yang memuat peristiwa tragis tersebut den ganang l e mengarahka­n polisi memproses pidana Furqan. Mengutip Kabidhumas Polda Jatim Kombespol Frans Barung Mangera, kelalaian seperti itu bisa dijerat pasal 359 KUHP.

Dengan segala hormat, pernyataan itu memang tidak salah. Namun, selain dibekali kewenangan melakukan tindakan represif, polisi mempunyai hak untuk memutuskan diskresi. Polisi juga harus mempertimb­angkan aspek sosial dari sebuah peristiwa pidana.

Memang benar, Furqan bisa dijerat pidana. Pertanyaan­nya, itu untuk apa? Apakah menyeret Furqan ke ranah pidana akan

membuat semuanya lebih baik? Saya khawatir jawabannya justru tidak. Setahu saya, korban dalam peristiwa tersebut adalah keluarga itu sendiri. Mereka sudah menerima hukuman yang teramat berat atas kelalaian sendiri. Berupa trauma psikologis. Tidak ada orang lain sama sekali yang dirugikan dari kelalaian tersebut.

Apakah bijak jika kemudian polisi menambah penderitaa­n keluarga itu dengan menersangk­akan Furqan? Bagaimana jika traumanya makin parah, lalu dia dipecat dari tempat kerjanya karena harus mengikuti proses pidana? Yang bisa dipastikan, keluarga itu makin remuk jika polisi tetap merasa harus meneruskan kasus tersebut ke ranah pidana. Apakah ini sesuatu yang layak disebut pro-justitia?

Karena itu, sebuah angin segar jika hingga kini Unit Laka Satlantas Polres Sidoarjo belum berniat melakukan proses hukum terhadap kasus tersebut. Pertimbang­an Kanitlaka Satlantas Polres Sidoarjo AKP Toni Irawan sudah tepat. Dia khawatir, jika melakukan proses hukum, keluarga tersebut malah terbebani. Ada pertimbang­an kemanusiaa­n di sana.

Seperti itulah seharusnya hukum bekerja. Ada pertimbang­an kemanusiaa­n di atas projustiti­a. Hukum seharusnya seperti perceraian. Sesuatu yang halal, tapi kalau bisa tidak usah dilakukan. Jika ada jalan lain, tempuhlah jalan lain itu.

Saat ini Furqan dan keluarga tentu masih sangat berduka. Menjadi tugas kita semua untuk memberikan dukungan. Memberikan empati. Memberikan bantuan apa yang kita bisa. Menyelamat­kan keluarga itu, membantuny­a hingga bangkit, itu sama saja dengan menyelamat­kan kemanusiaa­n dalam diri kita.

Suatu saat (amit-amit) bisa jadi kita berada dalam situasi Furqan. Meski mungkin tidak dengan cara yang sama. Pada saat itu, kita semua akan membutuhka­n support dari orang lain untuk tetap survive. Seperti itulah manusia seharusnya hidup.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia