POTRET KEHIDUPAN SUKU KAYAN
Mengabadikan Myanmar yang berjuluk Negeri Seribu Pagoda, bagi saya yang penghobi fotografi, sangat berkesan. Bukan hanya alamnya, kearifan lokalnya pun sangat kuat bercerita dalam bidikan kamera.
SAYA dan teman-teman penghobi fotografi melakukan perjalanan ke Myanmar awal tahun lalu. Kira-kira sepuluh hari saya berada di sana. Tentu sambil mengeksplorasi eksotika negara ini.
Orang Myanmar suka sekali pakai bedak dingin. Namanya
thanaka. Fungsinya, melindungi muka dari sengatan sinar matahari (semacam
sunblock buat mereka). Thanaka terbuat dari kulit kayu atau akar pohon thanaka yang digiling halus menjadi bedak atau bisa juga dibuat krim. Kami banyak mengunjungi
monastery school, salah satunya, Sagaing Monastic School. Di sana para murid dididik untuk menjadi biarawati dan biarawan. Tetapi tidak diharuskan masuk menjadi biarawan atau biarawati. Kelak, kalau sudah dewasa, mereka diberi kebebasan untuk memilih karirnya sendiri.
Tempat yang tidak kami lewatkan, sudah pasti, mengunjungi pagoda. Kami datang ke banyak pagoda. Di antaranya, Mya Thein Tan (White Temple), Pagoda Shwesandaw, Pagoda Kaunghmudaw, U Bhein Bridge, dan One Tree Hill.
Untuk bisa sampai ke One Tree Hill, kami harus berjalan mendaki bukit selama sekitar 30 menit. Menurut saya, waktu yang tepat untuk datang ke sana adalah pagi hari. Dari atas, kita bisa menikmati pemandangan pagoda yang diselimuti kabut pagi yang sangat memesona.
Tempat lain yang berkesan adalah Desa Padaung. Desa yang kerap disebut dengan Desa Perempuan Leher Jerapah alias long neck lady.
Sulit lho perjalanan menuju desa Padaung itu.
Jalanannya belum beraspal. Masih tanah dan berdebu. Sempit pula. Mobil besar tidak bisa masuk. Jadi, kami harus berganti mobil desa, tanpa atap. Dapat dibayangkan bagaimana debunya. Tapi, perjalanan sulit itu terbayar kalau sudah sampai.
Di desa itu, pada zaman dulu, semua perempuan –anak-anak sampai dewasa– supaya terlihat cantik mengenakan ”kerangkeng leher” yang terbuat dari kuningan. Pemakaian kerangkeng leher tersebut dimulai saat anak perempuan berusia 5 tahun.
Banyaknya lilitan di leher menandakan status sosial seseorang. Maka, apabila memilikiuanglebih,perempuan suku Kayan akan melepas kerangkeng lehernya dan menambah lilitannya untuk dipasang lagi. Sekarang sudah banyak perempuan yang melepaskan adat istiadat itu.
Di kehidupan sehari-hari suku Kayan, kaum prianya berternak dan berladang, sedangkan kaum perempuan mengurus anak-anak dan menenun. Malah, sekarang ada yang membuka warung atau toko kelontong. Kedatangan saya ke desa tersebut tentu tidak saya siasiakan. Dengan kamera, saya mengabadikan banyak momen. Memotret keseharian warga suku Kayan.
Perjalanan kami dari Desa Padaung berlanjut ke Danau Inle. Kami bermalam di Golden Island Cottages I. Cottage kami terbuat dari bambu dan terletak di tepian danau. Pemandangannya juga tak kalah ciamik. Yangoon menjadi destinasi terakhir. Apalagi kalau bukan untuk melihat pagodanya yang sangat terkenal kebesaran dan keindahannya itu, Pagoda Swedagon.