Pergulatan Batin dari Balik Penjara
Transformasi para napi kasus korupsi dari awal masuk Sukamiskin hingga benar-benar berhijrah digambarkan buku ini sebagai sebuah proses yang penuh ujian.
SUKAMISKIN memang tengah jadi sorotan. Menyusul terbongkarnya praktik suap dan berbagai fasilitas tak semestinya yang dinikmati sejumlah narapidana (napi).
Tapi, buku ini menyajikan sudut pandang lain dari penjara di Bandung, Jawa Barat, tempat Soekarno pernah ditahan itu. Menggambarkan situasi bagaimana para terpidana korupsi berjuang melawan ego masing-masing.
Ego itu muncul seiring latar belakang mereka yang beragam. Mulai pejabat publik, tokoh elite partai politik (parpol), hingga pengusaha kaya. Hanya satu hal yang meletakkan mereka di posisi yang sama: samasama napi koruptor.
Sebagai pengantar, Secercah Cahaya di Langit Sukamiskin (SCLS) menjelaskan, di Sukamiskin, para napi mau tidak mau harus kembali ke titik ”nol”. Memulai kehidupan baru. Dan, pilihan menjadi baik atau tetap ”jahat” bergantung sikap masingmasing warga binaan.
Situasi pelik yang melatarbelakangi hijrah sebagian warga binaan Sukamiskin menjadi ruh dari buku ini. Mereka memutuskan berkhidmat dengan kegiatan seputar Alquran (tahsin).
Baik itu sekadar memperbaiki bacaan atau menghafal juz demi juz (tahfid). SCLS mendeskripsikan semuanya. Lengkap dengan pertentangannya.
Transformasi para napi yang memilih berhijrah itu kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya komunitas SukaQuran. Di buku ini, SukaQuran merupakan wadah bagi napi Sukamiskin untuk mendalami Quran. Ada eksplorasi tentang kegiatan membaca Quran yang akhirnya menjadi budaya di dalam lapas.
Sebelum masuk ke pengalaman spiritual membaca Alquran, tim penulis menyajikan suasana hati setiap narasumbernya saat awal-awal tiba di Lapas Sukamiskin. Meski masuk melalui ”pintu” yang sama, pengalaman setiap napi yang dipaparkan SCLS memiliki perbedaan satu sama lain.
Sebagian besar kisah awalan para napi itu membawa pembacanya pada situasi yang campur aduk. Di satu sisi, ada rasa pilu dan iba dengan pergolakan batin yang seolah ”menyiksa” para terpidana. Namun, di sisi lain, ada perasaan bahagia karena ada beberapa napi koruptor yang ”bertobat” atas kesalahan yang diperbuatnya.
Misalnya, cerita mantan Bupati Empat Lawang H Budi Antoni Al Jufri yang selalu merasa kesal di awal-awal hidup di Sukamiskin. Dia merasa berat berada di lingkungan yang serba terbatas. Dan, itu persoalan yang menghinggapi semua penghuni lapas.
”Dalam situasi yang serba diawasi, serba dicurigai, serba dinilai, sungguh ini semua berpotensi melahirkan kepenatan jiwa yang sangat ingin berteriak saat merindu kebebasan.” (hal. 209)
Setelah menguliti penyesalan para napi, barulah SCLS berusaha menggambarkan bagaimana pengaruh Alquran terhadap kehidupan warga binaan. Awalnya, saya menganggap penyesalan napi koruptor yang dikemas dalam buku ini hanya kamuflase. Namun, setelah membacanya, anggapan itu sedikit berubah. Beberapa pernyataan napi membuat saya tersentuh.
Transformasi dari awal masuk lapas hingga benar-benar ”memeluk” Alquran itu digambarkan sebagai sebuah proses yang tidak sederhana. Melainkan, melalui berbagai ”ujian”.
Salah satunya cerita Abdul Khoir, direktur utama (Dirut) PT Windhu Tunggal Utama yang dihukum untuk kasus korupsi proyek jalan di Maluku. Abdul merasa bahagia bersama Alquran. Bahkan, dia merupakan salah seorang penggerak napi-napi koruptor lain untuk tidak berputus asa membaca Quran. (hal. 425)
Selain Abdul Khoir, buku ini mengeksplorasi perjalanan spiritual sejumlah napi yang tidak kalah ”mengharukan”. Misalnya, kisah mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin yang akhirnya merasa bersyukur mendekam di Sukamiskin karena bisa melunasi sebagian ”utang” hidup untuk belajar Alquran.
”Awalnya, saya merasakan kenyataan hidup yang sangat pahit saat saya harus berurusan dengan hukum dan masuk tempat ini (Sukamiskin),” kata Ilham dalam buku tersebut. (hal. 157) (*)