Pernah Jadi Simbol Perlawanan Melawan Penjajah
Tari Glipang, Ikon Kesenian Kabupaten Probolinggo
Dari sejarahnya, glipang bukan sekadar tarian, melainkan simbol perlawanan kepada penjajahan Belanda di Kabupaten Probolinggo. Tarian dengan napas Islam itu juga menjadi karakteristik warga setempat yang memang dikenal memiliki religiusitas yang tinggi.
KEBERADAAN tari glipang yang berasal dari kata gholiban (bahasa Arab yang artinya kebiasaan) tidak bisa dilepaskan dari sosok Sardan. Pria asal Desa Omben, Kabupaten Sampang, Madura, itu adalah cikal bakal tari glipang berkembang di Probolinggo.
”Kalau dari permulaannya ya dari Pak Sardan ini. Dia mbah buyut saya,” ujar Soeparmo, generasi keempat yang masih hidup.
Sardan yang memang seorang seniman kabur dari Madura karena berebut mengembangkan tari topeng di Madura. Karena tak memiliki tempat di Madura, dia lantas hijrah ke Probolinggo.
Di Probolinggo, tari topeng yang dikenalkan Sardan ditolak warga setempat. Alasannya, tarian tersebut menggunakan gamelan yang identik dengan aktivitas tarian yang mana aurat penarinya terbuka.
Karena itu, dia berpikir keras untuk memunculkan seni tari baru yang cocok untuk warga lokal. Sayang, sampai meninggal, dia belum bisa mewujudkan ambisinya tersebut. Akhirnya, cita-cita itu coba diwujudkan Seno, putra Sardan.
Bersama Asia alias Bu Karto, anaknya, Seno akhirnya berhasil mewujudkan tarian yang cocok untuk warga setempat pada 1935. Tarian itu bermula dari aktivitas Seno yang kemudian berjuluk Sari Truno menjadi mandor tebu di Pabrik Gula Gending yang dikuasai Belanda.
Temperamennya yang keras serta nasionalismenya yang tinggi membuatnya sering berkonflik dengan tentara Belanda yang dikenal sewenang-wenang. Karena jiwa nasionalismenya itulah, dia lantas menghimpun kaum pribumi untuk membentuk perkumpulan pencak silat.
Aktivitanya berlatih silat bersama kawan-kawannya itu akhirnya diketahui Belanda. Dia dituduh hendak memberontak. Untuk mengelabui Belanda, akhirnya gerakan pencak silat itu dia iringi dengan musik.
Harapannya, Belanda tak lagi menaruh curiga. Belanda pun percaya. Terciptalah kemudian warna musim gholiban yang berarti terus-menerus. Lambat laun, ekspresi perlawanan dalam bentuk seni tersebut menjadi sebuah ekspresi seni yang nyata.