Jawa Pos

Plawangan, Juli, dan Cuaca

- Oleh NOVI PASARIBU Pendaki Anggota Mapala UI

SAYA mendaki Rinjani tepat setahun lalu. Saat itu saya menjabat kepala Biro Peminatan Arung Jeram di Mapala UI. Berangkat mendaki ke Rinjani bersama lima orang dari Mapala UI, 13 klien, serta 8 porter

Waktu itu jalur yang kami pilih untuk mencapai puncak Rinjani adalah lewat Sembalun. Kamp terakhir sebelum mencapai puncak Rinjani dari arah Sembalun adalah Plawangan. Ketinggian di kamp Plawangan itu sudah mencapai 2.800 mdpl.

Kemudian, sekitar pukul 01.00 dini hari, kami mulai melanjutka­n perjalanan menuju puncak Rinjani. Dari kamp Plawangan menuju puncak Rinjani ditempuh dalam waktu 4–6 jam.

Kami harus memulai perjalanan dini hari karena mengejar waktu. Supaya bisa sampai di puncak Rinjani pukul 06.00–07.00. Pada jam-jam itu, cuaca masih bagus.

Pendaki masih bisa berfoto dengan latar belakang danau vulkanik Segara Anak. Sebab, kalau mencapai puncak Rinjani pukul 09.00–10.00, sudah banyak awan.

Terkait dengan medan menuju puncak Rinjani, sangat beragam. Ketika sudah mau mencapai puncak, jalannya sempit dan berpasir. Kemudian, ada jurang di bagian sampingnya. Sehingga pendaki harus lebih berhati-hati.

Soal di mana saja rekan-rekan pendaki yang tertahan, saya belum mendapatka­n informasi yang pasti. Tetapi, saya perkirakan mereka tertahan di pos terakhir, Plawangan Sembalun.

Akses komunikasi di Plawangan Sembalun sejatinya sudah bisa terjangkau sinyal ponsel. Tetapi, kadang-kadang sinyal ponsel hilang. Umumnya, pendaki Rinjani membawa bekal logistik yang cukup, bahkan cenderung banyak. Karena itu, sejak terjadi gempa pada Minggu pagi hingga perkiraan tim evakuasi tiba pada Senin malam, saya perkirakan perbekalan mereka cukup.

Pada bulan Juli seperti sekarang ini, kondisi cuaca di Plawangan cukup ekstrem antara siang dan malam. Pada malam, dingin sekali. Meski tidak sampai di- ngin seperti es. Kemudian, pada siang panas banget.

Kemudian, dimungkink­an juga pendaki tertahan di area Danau Segara Anak dan Batu Ceper. Ini memang tempat favorit para pendaki Rinjani.

Setelah bersusah payah menggapai puncak, Danau Segara Anak jadi tempat menyenangk­an untuk meluruskan kaki. Sebelum dihajar lagi untuk turun melalui Senaru.

Ketika berangkat mendaki ke Rinjani tahun lalu, saya dan tim serta rombongan berencana pulang mengambil rute berbeda dengan saat berangkat mendaki. Berangkat dari Sembalun, turun lewat Senaru. Tujuannya, bisa mampir ke Segara Anak.

Tetapi, rencana pulang mampir melewati Segara Anak itu dibatalkan. Kami pilih rute pulang seperti saat naik ke Rinjani. Yakni, turun kembali menuju Sembalun.

Pertimbang­an saat itu, banyak peserta yang merasa capek. Maklum, di antara peserta pendakian, ada yang berusia sektiar 50 tahun.

Padahal, rute pulang melewati Senaru berat. Berbatu dan berpasir. Pendakian saat itu memakan waktu total tiga hari dan empat malam.

Saya sudah mendaki sejumlah gunung. Misalnya, Gunung Gede, Kerinci, Agung, dan Argopuro. Jika dibandingk­an dengan gunung-gunung yang lain, Gunung Rinjani memiliki kekhasan tersendiri.

Di antaranya, vegetasiny­a berbeda dengan gunung-gunung yang ada di Jawa Barat maupun Jawa Timur. Di Rinjani banyak sabana. Di jalur dari Sembalun, sebelum sampai ke Plawangan, juga ada ’’Bukit Penyiksaan’’. Itu sebutan untuk rentetan bukit yang seperti tiada akhir sampai kaki menginjak Plawangan.

 ??  ??
 ?? NOVI PASARIBU FOR JAWA POS ??
NOVI PASARIBU FOR JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia