BPJS Kejar Efisiensi Rp 360 M
Alasan Membatasi Pelayanan bagi Pasien
JAKARTA – BPJS Kesehatan membuka alasan di balik keluarnya tiga peraturan direktur jaminan pelayanan kesehatan. Salah satunya, mengejar efisiensi senilai Rp 360 miliar. Demi itulah BPJS Kesehatan ngotot memberlakukan aturan baru meski ditentang banyak pihak karena dianggap mengorbankan kepentingan pasien
Tiga peraturan baru itu menyangkut pelayanan katarak, persalinan dengan bayi sehat, dan rehabilitasi medik. Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief memastikan bahwa tiga jenis layanan itu tetap dijamin. ”BPJS Kesehatan menata supaya lebih tepat,” tuturnya di kantor BPJS Kesehatan kemarin (30/7).
Dia menjelaskan pembiayaan layanan katarak, persalinan dengan bayi sehat, dan rahabilitasi medik tergolong besar. Nilainya hampir sama dengan pembiayaan penyakit katastropik. Karena itu, diatur sejumlah regulasi pembatasan baru. Contohnya, katarak ditetapkan baru bisa dioperasi jika pasien memiliki visus kurang dari 6/18 atau masuk kategori gangguan penglihatan sedang.
Jadi, bila gangguan penglihatan pasien masih ringan, operasi kataraknya tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Dia harus menunggu kataraknya lebih parah, baru operasi ditanggung. Total klaim operasi katarak sepanjang 2017 mencapai Rp 2,65 triliun.
Kemudian, untuk bayi lahir sehat, pengajuan klaim menyatu dengan ibunya. ”Dibayar cukup ibunya,” kata Budi. Tidak perlu dokter anak. Tetapi, jika bayi yang lahir harus dirawat di NICU atau layanan sejenis, klaimnya terpisah. Pada praktiknya, banyak klaim bayi lahir sehat yang mencapai Rp 3,8 juta. Hampir sama dengan klaim persalinan ibunya yang mencapai Rp 5,4 juta. Total biaya untuk klaim bayi baru lahir dalam kondisi sehat pada 2017 mencapai Rp 1,17 triliun.
Soal rehabilitasi medik, Budi menjelaskan bahwa biaya klaimnya sepanjang 2018 mencapai Rp 966 miliar. Karena itu, perlu dilakukan pembatasan. Sampai akhirnya keluar regulasi pembatasan layanan fisioterapi maksimal dua kali dalam sepekan.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kaget dengan informasi nilai potensi efisiensi Rp 360 miliar di balik pembatasan sejumlah layanan. ”Kalau efisiensinya Rp 3,4 triliun, itu baru masuk akal,” katanya. Dia menegaskan, potensi efisiensi tersebut tidak sebanding dengan pengurangan atau pembatasan layanan.
Bagi Timboel, daripada membatasi layanan, BPJS Kesehatan sebaiknya berfokus pada upaya menagih piutang. Sebab, per 31 Mei 2018 tunggakan piutang BPJS Kesehatan mencapai Rp 3,4 triliun. Jika berhasil menagih seluruh piutang tersebut, nilai uangnya jauh lebih besar ketimbang hasil efisiensi yang mengorbankan layanan untuk peserta.
Akibat aturan sepihak dari BPJS Kesehatan, sejumlah rumah sakit menghentikan layanan fisioterapi kepada pasien BPJS. Sebab, regulasi baru itu juga mengatur bahwa rumah sakit yang tidak memiliki dokter spesialis kesehatan fisik dan rehabilitasi (SpKFR) tidak bisa mengajukan klaim kepada BPJS.
Imbas lain, Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) menginstruksikan seluruh fisioterapis untuk tidak melayani pasien BPJS Kesehatan. Sebab, aturan baru itu membuat mereka tidak bisa melakukan fisioterapi sesuai dengan standar profesi. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga merasa dirugikan. Sebab, di lapangan, para dokterlah yang kena komplain masyarakat.
Aturan baru itu memusingkan pengelola rumah sakit daerah. Termasuk, RSUD dr Soetomo yang melayani banyak pasien BPJS Kesehatan. Dirut RSUD dr Soetomo dr Harsono menuturkan, RSUD tidak bisa menunggu hingga peraturan tersebut direvisi. Sebab, tugas rumah sakit pemerintah adalah melayani masyarakat yang sakit. ’’Jika ditolak, justru salah. Orang sakit kan tidak bisa menunggu.”
Harsono menjelaskan, sesuai dengan perintah Gubernur Jatim Soekarwo, RSUD dr Soetomo harus memberikan pelayanan terbaik. Karena itu, tiga pelayanan yang dibatasi tersebut tetap diberikan.