Kerugian Garuda Menyusut
Kurs dan Harga Minyak Masih Jadi Penyebab
JAKARTA – PT Garuda Indonesia Tbk belum bisa lepas dari jerat rugi. Meski turun signifikan, maskapai penerbangan pelat merah itu masih membukukan kerugian USD 116,857 juta atau sekitar Rp 1,682 triliun pada semester pertama 2018. Angka tersebut turun 60 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang masih USD 281,923 juta atau sekitar Rp 4,059 triliun.
Direktur Utama Garuda Pahala N. Mansury menyatakan, kerugian perseroan berasal dari biaya yang cukup tinggi di industri penerbangan. ’’Kami lakukan bagaimana bisa menurunkan biayabiaya,’’ ujarnya kemarin (30/7).
Total biaya operasi Garuda naik 0,3 persen pada semester pertama 2018 (YoY). Yaitu, dari USD 2,101 miliar pada semester pertama 2017 menjadi USD 2,106 miliar pada paro pertama 2018.
Salah satu penyebab kerugian Garuda ialah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sebab, 65 persen pendapatan emiten dengan kode perdagangan GIIA tersebut dalam mata uang rupiah. Sisanya, 35 persen pendapatan, berasal dari mata uang asing. Selanjutnya, 70 persen kewajiban pembayaran GIIA dalam mata uang asing.
Untuk itu, Garuda akan terus mengembangkan rute internasional guna memperbesar pendapatan dalam bentuk mata uang asing. Pihaknya pun meningkatkan porsi hedging (lindung nilai) dari 20 persen menjadi 50 persen. ’’Kalau rupiah menguat, tentu akan membantu. Tetapi, sejauh mana kami tidak bisa sampaikan sensitivitasnya seperti apa,’’ imbuhnya.
Kenaikan minyak mentah dunia juga mendorong kenaikan bahan bakar pesawat atau avtur dan beban keuangan Garuda. Biaya bahan bakar naik 12 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu dari USD 571,1 juta menjadi USD 639,7 juta. Padahal, biaya bahan bakar berkontribusi 35 persen terhadap total biaya operasi Garuda.
Sebanyak 22 rute Garuda juga masih menanggung rugi. Pihaknya pun mulai menutup rute-rute tersebut sehingga tinggal sebelas rute yang merugi. ’’Dari sebelas tadi, kami akan terus lihat kemungkinan bagaimana kami bisa menurunkan lagi. Mudahmudahan dari sebelas rute tadi bisa terus berkurang,’’ urainya.
Menurut dia, pemangkasan rute itu berhasil memberikan dampak positif terhadap kinerja keuangan perseroan.’’Inibisamemungkinkan kondisi operasional kami membaik sampai dengan 60 persen,’’ sahut mantan direktur Bank Mandiri tersebut.
Pendapatan Garuda pada semester pertama 2018 naik 5,9 persen dari USD 1,8 miliar menjadi USD 1,9 miliar (YoY). Garuda pun mengevaluasi target keuntungan perseroan yang semula di angka USD 8 juta–USD 10 juta pada tahun ini.
Pengamat penerbangan Alvin Lie menuturkan, Garuda perlu lebih agresif dalam mengembangkan rute internasional seperti di Timur Tengah. ’’Banyak
airline yang punya hak terbang ke Indonesia, resiprokal berapa kali itu banyak yang belum kami manfaatkan. Pengembangan rute internasional itu penting untuk mengimbangi pendapatan Garuda. Itu juga bukan hanya dari domestik,’’ ujarnya.
Sebab, sebagian besar kewajiban keuangan Garuda dalam bentuk dolar AS. Selain itu, Garuda harus konsisten terhadap
branding yang mereka bangun. ’’Garuda harus memiliki positioning dan strategi marketing yang jelas,’’ timpalnya.
Menurut dia, Garuda perlu meniru Lion Air yang memiliki
positioning yang jelas. Misalnya, kelas menengah ke atas terbang bersama Batik Air, kelas ekonomi ada Lion, sedangkan rute perintis ditangani Wings Air. ’’Garuda tidak jelas. Dengan Citilink, Garuda juga mengoperasikan pesawat baling-baling,’’ tutup anggota Ombusdman RI tersebut.