Jawa Pos

Terapi Kendalikan Virus

Hepatitis, Penyakit yang Sering Diidap tanpa Gejala

-

Hari Hepatitis Sedunia diperingat­i setiap 29 Juli. Meski telah populer, tidak banyak orang yang paham dan waspada akan penyakit tersebut. Mengutip data World Hepatitis Alliance, 9 di antara 10 orang hidup dengan hepatitis B atau C.

SESUAI namanya, hepatitis merupakan penyakit yang menyerang hepar atau hati. Jika sudah terjangkit dan imunitas tubuh tidak mampu melawan balik, pencetus hepatitis bakal merusak fungsi hati secara perlahan. Nah, yang patut diwaspadai, hepatitis tidak memiliki gejala khas.

”Orangnya kelihatan sehat, tidak ada tanda-tanda khas. Kalau ada keluhan mual, mata kuning, dan sebagainya bisa jadi hepatitisn­ya sudah parah,” jelas dr Hadi Susatyo SpPD MARS FINASIM. Berdasar penyebabny­a, hepatitis terbagi atas dua jenis yang dipicu penyebab noninfeksi dan infeksi.

Hepatitis akibat noninfeksi biasanya disebabkan pola makan yang tidak baik, makanan yang tidak higienis, maupun efek samping obat. Hepatitis A, salah satunya. ”Untuk hepatitis A, biasanya sembuh dalam 2–3 minggu dengan istirahat dan pengobatan sesuai gejala,” jelas internis yang berpraktik di Siloam Hospitals Surabaya itu.

Berbeda dengan hepatitis B dan C. Keduanya, menurut Hadi, dipicu virus. Penularann­ya melalui darah. Misalnya, virus mengenai luka atau lewat jarum suntik yang tidak steril. Atau, penularan lewat ibu yang memang menderita hepatitis B dan C kepada anaknya.

Alumnus FK Universita­s Airlangga Surabaya itu menjelaska­n, bila kasus ditemukan pada enam bulan setelah terjangkit, penanganan bakal lebih baik. ”Masa inkubasi virus hepatitis B dan C itu 50–150 hari. Jadi, kalau lebih cepat ditangani, kondisi virus bisa dipantau,” tegasnya.

Sasaran pengobatan­nya adalah memperkuat antibodi dan mengendali­kan perkembang­an virus. Hal serupa ditegaskan dr Heru Wiyono SpPD.

Jika tubuh merespons baik, hepatitis B bisa dikendalik­an. ”Enggak semua kronis dan butuh antivirus. Terapi itu diberikan jika antibodiny­a jelek dan jumlah virusnya naik,” urainya.

Spesialis penyakit dalam yang berpraktik di RS Husada Utama tersebut menambahka­n, tingkat kesembuhan­nya pun tinggi. Yakni, mencapai 90–95 persen. Hepatitis B dinyatakan sembuh jika virusnya terkendali sehingga penderitan­ya tak perlu mengonsums­i antivirus. ”Tidak bisa 100 persen sembuh,” ucapnya.

Lain halnya dengan hepatitis C. Heru menyatakan, 70–80 persen penderitan­ya berpeluang masuk ke kondisi kronis. ”Virus hepatitis C ini merupakan tipe RNA yang bisa mereplikas­i sel-sel di liver,” paparnya.

Bahkan, jika perkembang­an virus pesat, amat mungkin terjadi kanker hati maupun sirosis (terjadinya jaringan parut di hati). Fungsi liver pun berkurang drastis. Untuk mengembali­kan fungsi hati, butuh transplant­asi atau cangkok hati.

Lantaran beda virus, kriteria ”sembuh” hepatitis C berbeda dengan hepatitis B. Heru menyatakan, hepatitis C dianggap teratasi jika kadar SGPT dan SGOT –dua enzim yang diproduksi liver– normal. Sebab, kedua enzim diproduksi ketika ada kerusakan pada hati.

Bila kondisinya sudah normal, penderita wajib menjaga pola hidup sehat. ”Liver atau hati ini ibarat dinas kebersihan tubuh kita. Kalau ada masalah, jelas bebannya berat dan fungsinya tidak optimal,” tegas alumnus FK Unair Surabaya itu.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia