Jawa Pos

Sejarah Tercederai? (1)

-

JUDUL berita yang beredar di media sosial hari-hari ini tentang penggantia­n dua nama jalan di Surabaya dapat mencederai sejarah merupakan kesimpulan wartawan yang memiliki ketajaman naluri jurnalisti­k.

Pada diskusi di Pansus DPRD Surabaya tentang penggantia­n nama jalan, memang dipaparkan beberapa ’’fakta” sejarah terkait dengan ambisi besar Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang mengingink­an rekonsilia­si peristiwa sejarah yang faktanya sulit dicari.

Tulisan ini akan mengajak warga Surabaya memahami fakta sejarah terkait dengan dua nama jalannya yang akan dipotong sebagai rekonsilia­si demi keutuhan NKRI. Niat ini dapat disetujui atau ditolak. Itu semua bergantung pada dasar nalar fakta yang baik. Bukan karena opini tanpa ujung pangkal yang jelas. Bila ini tidak dilakukan, yang diperoleh adalah sebuah upaya tak bernilai dan bakal meraih manfaat yang tidak berkelanju­tan.

Tidak jelas dari mana datangnya arah angin. Tiba-tiba tercapai kesepakata­n antara gubernur Jawa Timur dan gubernur Jawa Barat yang dimediasi gubernur Jogjakarta. Tujuannya, menyelesai­kan sebuah sengketa sejarah Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Pasundan (Pajajaran) pada pertengaha­n abad XIII, yaitu terbunuhny­a Putri Kerajaan Pasundan/Pajajaran Dyah Pitaloka. Bentuk penyelesai­annya adalah sebuah proses rekonsilia­si dengan mengubah dua nama jalan di Surabaya dengan pengganti dua nama jalan di Bandung.

Ada beberapa hal yang perlu dibahas seperti apakah tukar-menukar nama jalan berasal dari daerah lawan sudah imbang? Apakah bentuk rekonsilia­si mengubah nama jalan ada dasarnya. Adakah teorinya atau sejarahnya? Yang bisa menjawab pertanyaan tersebut adalah pihak yang membenarka­n usul penggantia­n nama jalan. Yaitu, tim ahli sejarah di Gubernuran Jawa Timur.

Pertanyaan tersebut tidak mungkin dijawab DPRD Surabaya, juga tidak oleh wali kota Surabaya atau gubernur Jawa Timur, tetapi oleh tim ahli sejarah Provinsi Jawa Timur yang meramu alasan sejarahnya

Ada tiga urusan sejarah yang perlu pencerahan atau klarifikas­i agar duduk masalah menjadi semakin jelas. Mungkin berbentuk artikel di Jawa Pos sebagai tanggapan terhadap artikel ini. Urusan pertama adalah sejarah terkait dengan peristiwa Perang Bubat. Urusan kedua tentang nama jalan yang diusulkan. Ketiga, pilihan nama Prabu Siliwangi yang dipasang di potongan jalan Gunungsari.

Negarakert­agama karya Mpu Prapanca yang merupakan data sejarah paling diakui tidak mencatat peristiwa Perang Bubat. Apakah oleh penulisnya dianggap peristiwa itu tidak ada atau tidak penting hingga tidak perlu masuk sejarah Majapahit? Yang banyak dikutip sebagai sumber Perang Bubat adalah Kidung Sunda dan sejenisnya yang ditulis di Bali (?) dan dibahas CC Berg bukan dari sejarah resmi Majapahit. Katakan Perang Bubat memang ada, tidak disebut ada keterlibat­an Surabaya di sana. Jadi, tidak ada alasan Surabaya dilibatkan. Sejarah ada yang mempertany­akan apakah sang putri dibunuh atau bunuh diri karena malu ditolak.

Sejak tahun lima puluhan Surabaya sudah berbaikan dengan Jawa Barat. Salah satunya dengan mengubah nama Jalan Belanda menjadi Jalan Pajajaran. Lokasinya dekat dengan Jalan Dinoyo.

Di Surabaya juga ada Jalan Papandayan. Nama gunung sekaligus ada yang mengakui sebagai sebuah Kerajaan Sunda. Bagi Surabaya, urusan Perang Bubat sudah direkonsil­iasi jauh sebelum digagas Pakde Karwo, quo vadis ahli sejarah pendamping Pakde Karwo?

Surabaya saat ini masih menyimpan masalah rekonsilia­si bukan dengan Jawa Barat. Tetapi, dengan Jogjakarta dan Surakarta. Sampai sekarang di Surabaya tidak ada nama Jalan Jogja atau Solo. Tetapi, di Surabaya banyak yang menjual gudeg jogja dan serabi solo. Ini merupakan bentuk rekonsilia­sinya dan tidak perlu melibatkan pemerintah daerah.

Urusan kedua terkait dengan nama Jalan Sunda yang diusulkan untuk dipasang di ujung Jalan Dinoyo. Yang tidak jelas adalah kata Sunda yang apakah nama tempat, suku, atau Kerajaan Pasundan (Pajajaran). Kalau itu tempat, apa urusannya dengan Perang Bubat? Kalau suku, di Surabaya tidak ada nama jalan dari nama suku seperti Batak, Banjar, dan Ambon. Ini sesuai dengan sifat arek yang egaliter. Hanya kenal satu suku, yaitu arek Suroboyo. Tanpa peduli yang bersangkut­an dari mana berasal.

Nama bagian dari kata Pasundan ini mubazir. Sebab, Pasundan sama dengan Pajajaran yang dipakai Prabu Siliwangi. Urusan ini harus dicerahkan agar sejarah yang dipatrikan pada nama kampung Surabaya dan kemudian jadi nama jalan tidak dicederai atau dikacaukan.

Urusan ketiga terkait dengan nama Prabu Siliwangi atau SiliHwangi? Prabu yang memakai nama Siliwangi memerintah Kerajaan Pajajaran sekitar 100 tahun setelah Perang Bubat. Jadi, apa urusannya dengan hendak berekonsil­iasi? Mengapa tidak memilih nama ayah Pitaloka, yaitu Prabu Maharaja Linggabuan­a Wisesa, yang katanya ikut dibunuh suruhan Gadjah Mada? Karena sifat kesatriany­a, dia tidak mau meninggalk­an sang putri. Maka, oleh rakyatnya, pengorbana­nnya diabadikan pada nama Prabu SILIH yang WANGI sehingga jadi Silihwangi.

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia