Pengawasan Panoptik E-Tilang CCTV
Pemberlakuan e-tilang CCTV merupakan langkah maju kepolisian dalam menekan angka pelanggaran lalu lintas. Dengan metode itu, pengawasan menjadi lebih efektif. Sebab, pengawasan tidak melekat pada diri ”si pengawas” (dalam hal ini aparat), tapi melekat pada diri pengguna lalu lintas.
PENEMPATAN CCTV di titik lampu merah di sejumlah kota di Indonesia sudah dimulai pada 2017. Salah satu ”rumor” yang berkembang ialah denda tilang akan dikenakan pada saat pembayaran pajak kendaraan atau perpanjangan STNK. Berdasar kepercayaan atas hal itu, kecenderungan umum pengguna jalan, terutama sepeda motor, adalah berusaha berhenti di belakang zebra cross dan berhenti ketika lampu kuning.
Fenomena tersebut berubah setelah beberapa bulan berjalan. Para pengendara mulai mengulangi kebiasaan lama: berhenti di depan atau melanggar zebra cross dan sebagian kecil melanggar lampu merah. Salah satu penyebabnya ialah tidak adanya sanksi konkret yang diberikan.
Akhir bulan lalu uji coba e-tilang mulai dilakukan aparat (Jawa Pos, 27/7). Mekanisme e-tilang dengan CCTV melibatkan kerja sama kepolisian dan dinas perhubungan (dishub). Pelanggaran lalu lintas yang terjadi direkam dalam bentuk screenshot dan diserahkan kepada kepolisian. Selanjutnya, berdasar nomor pelat pada kendaraan, polisi mengecek kepemilikan kendaraan.
Proses selanjutnya ialah penindakan. Pelanggar menerima informasi jumlah denda melalui pesan singkat. Berikutnya, mereka tinggal membayar melalui bank. Kendaraan bisa diambil dengan menunjukkan bukti bayar.
Harapannya, penerapan e-tilang itu mengembalikan ”keampuhan” CCTV pengawas. Mengutip pernyataan Kepala Bidang Lalu Lintas Dishub Kota Surabaya Robben Rico, e-tilang CCTV dapat menekan pelanggaran 62 hingga 80 persen. Demikianlah, sebuah aturan menjadi semakin ditaati ketika berdampak: salah diberi sanksi dan benar diapresiasi. Pengawasan Panoptik Meminjam teori Michel Foucault, fenomena disiplin yang mulai terbentuk para diri pengguna jalan tersebut berjalan dalam sebuah mekanisme panoptik. Praktik pengawasan panoptik pada mulanya dilakukan di penjara. Istilah panoptikon bermula dari sebuah arsitektur penjara yang dibuat Jeremy Bentham.
Dengan bentuk arsitektur sedemikian rupa, semua narapidana merasa dirinya diawasi setiap saat. Sel ada dalam bangunan melingkar dengan dua jendela dan jeruji besi yang dihuni narapidana.
Jendela depan sel mengarah pada bangunan di tengah, yang merupakan menara pengawas. Jendela kedua berada di belakang sel. Dari jendela tersebut cahaya masuk dan membentuk siluet gerak-gerik tubuh narapidana. Maka, terjadilah pada diri narapidana sebuah konsep: entah siapa, tapi dirinya selalu diawasi secara permanen. Dalam kenyataannya, pengawasan bisa jadi bersifat random, akan tetapi efek yang terjadi menjadi continue. Karena itu, disiplin terbentuk.
Efek yang kurang lebih sama muncul pada pemasangan CCTV di lampu lalu lintas. Praktik pengawasan dengan CCTV dipasang sedemikian rupa sehingga membuat setiap pengguna jalan merasa sedang diawasi secara permanen.
Penegakan dengan cara tilang semakin memperkuat efek tersebut dan menyebar pada semua orang yang mendengar peristiwa itu. Pengawasan bisa jadi discontinued, tapi efek pengawasan menjadi permanen. Dengan cara demikian, semakin terbentuk kepatuhan atau disiplin.
Disiplin dalam konsep Foucault merupakan sebuah teknologi diri yang termanifestasi dalam kepatuhan yang konkret. Disiplin tidak selalu memiliki konotasi negatif, tapi juga bersifat produktif.
Dalam konteks penegakan disiplin berlalu lintas, kepatuhan atas rambu lalu lintas akan memberi andil dalam mengurangi angka kecelakaan, mengurangi kemacetan, dan lebih jauh membentuk karakter diri yang lebih baik. PR selanjutnya ialah menjaga konsistensi sanksi atas pelanggaran sebagai mekanisme pengawasan yang melegitimasi CCTV.
Salah satu tujuan pembentukan masyarakat yang berdisiplin ialah pelaksanaan kekuasaan yang lebih efisien. Salah satu efisiensi tersebut ada pada: pengawasan yang discontinue, namun efeknya permanen.
Persoalannya ialah bagaimana membentuk sebuah efek permanen tersebut. Salah satu kata kuncinya ialah konsistensi pemberian sanksi pelanggaran. Pada titik itulah dibutuhkan kerja keras polisi dan aparat terkait.
Pengawasan bisa jadi discontinued, tapi efek pengawasan menjadi permanen. Dengan cara demikian, semakin terbentuk kepatuhan atau kedisiplinan.