Napi Jangan Hanya Ditumpuk
LEOPOLD SUDARYONO
Rentetan persoalan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) seolah tak pernah habis. Setelah jual beli fasilitas narapidana koruptor di Lapas Kelas 1 Sukamiskin, baru-baru ini juga terungkap bisnis narkoba yang dikendalikan di dalam penjara. Berikut perbincangan Agus Dwi Prasetyo bersama pengamat penjara dan kriminolog Leopold Sudaryono. Baru-baru ini kembali terbongkar dugaan bisnis narkoba dalam lapas. Apakah fenomena semacam ini juga terjadi akibat gagalnya pemerintah merevitalisasi lapas dan rutan?
Betul, ini terkait dengan revitalisasi fungsi lapas dan rutan. Ketika napi berisiko tinggi (seperti bandar narkoba) ditempatkan di lapas yang overcrowded, bisnis narkoba hampir pasti selalu terjadi. Lapas Tangerang adalah salah satu lapas objek penelitian doktoral saya. Ada 1.714 napi kelas bandar/pengedar narkoba yang ditahan di sini. Kapalapas hanyalah 600 orang. Namun, per awal Juli ada 2.817 penghuni alias terjadi kelebihan kapasitas sebanyak 469 persen.
Dengan petugas pengamanan berjumlah kurang dari 30 orang pada setiap sif, ada hampir 93 pelaku kriminal yang harus diawasi setiap satu petugas.
Bagaimana karakter bisnis fasilitas bagi bandar narkoba dalam lapas dengan bisnis fasilitas penjara bagi napi koruptor seperti di Sukamiskin?
Karakternya sama. Keduanya adalah golongan napi yang memiliki basis ekonomi dan kekuatan jaringan yang dapat memengaruhi pelaksanaan fungsi dasar pemasyarakatan. Keduanya adalah napi berisiko tinggi. Mereka harus ditempatkan dan ditangani secara berbeda agar tidak merusak integritas lapas/rutan dengan cara menyuap ataupun mengancam petugas.
Apa saran Anda soal persoalan ini semua?
Sumber utama masalah ini terletak pada, yang pertama, kebijakan pemidanaan yang hanya mengandalkan pemenjaraan sebagai bentuk hukuman. Ini mengakibatkan jumlah napi di luar kemampuan pemerintah untuk bisa melayani dan mengawasi.
Kedua, presiden harus mengeluarkan perpu pidana alternatif dengan mengadopsi rumusan pidana alternatif yang saat ini sudah dibahas dan disetujui dalam pembahasan RUU KUHP.
Ketiga, Polri harus mulai secara selektif melakukan penahanan. Tindak pidana tanpa korban (pelaku adalah korban) seperti penyalahgunaan narkoba atau perjudian (nonbandar) dapat dikenai alternatif penahanan (tahanan rumah/kota/penangguhan penahanan).
Lalu, revitalisasi pemasyarakatan. Napi harus ditahan sesuai dengan tingkat risikonya terhadap sistem pemasyarakatan serta perubahan perilaku menjadi lebih baik. Tidak sekadar ditumpuk seperti saat ini.