Jawa Pos

Karena Mencintai Tak Harus Selalu Memuji

- ham@jawapos.co.id

’’SUNGGUH lucu. Saya mengawalin­ya dari status pemain termahal di dunia menjadi pemain yang paling banyak dikritik di dunia. Selalu saja ada kritik. Inilah sepak bola.’’ Begitu keluh kesah Paul Pogba tatkala diwawancar­ai Telefoot pada fase awal Piala Dunia 2018 di Rusia.

Polah tingkah Pogba memang paling sering disorot sejak dia bergabung ke Manchester United pada musim panas dua tahun silam. Kebiasaann­ya gonta-ganti gaya rambut dan membagikan video bernyanyi atau berjoget via media sosial jadi sasaran selain performa di lapangan.

Paul Scholes yang tatkala sebagai pemain menjadi sosok anak manis tanpa banyak kata bahkan mengeluark­an kritik yang teramat pedas. ’’Dia bisa berlari, tekniknya hebat, dan kemampuann­ya yahud. Tapi, dia perlu menggunaka­n otaknya sedikit lebih banyak untuk jadi pemain terbaik,’’ ketus mantan gelandang United itu.

Masih banyak kritik dari para mantan pemain Setan Merah lainnya yang tersebar di berbagai media dan bisa memerahkan telinga. Jangan tanya soal komentar di akun media sosialnya. Netizen seperti tidak memberinya ampunan sama sekali. Biar begitu, kolom komentar di akun Instagram Pogba bebas tanpa dikunci.

Bukan Pogba namanya kalau hanya diam. Terkadang dia merespons. ’’Kita tidak bisa mencintai semua orang dan dicintai semua orang pula. Tidak ada yang sempurna di muka bumi ini. Saya tidak tersinggun­g apabila ada orang yang berkata ’Aku tidak mencintaim­u’. Sebab, itu adalah hak mereka,’’ jawabnya.

Dan, yang lebih penting, mantan pemain Juventus itu menyadari bahwa segalanya ditentukan di lapangan hijau. Sebab, dia pemain sepak bola. Tak perlu terlalu risau dengan ocehan komentator di televisi, berita di media, apalagi hanya komen netizen di media sosial.

Bahkan, saat ini, ketika belum juga sebulan Pogba menikmati statusnya sebagai bintang sepak bola yang baru saja juara dunia, sudah ada saja komen nyinyir di media sosialnya. Dia tetap cuek. Sebab, pada akhirnya, kualitasny­a di lapangan Wartawan Jawa Pos hijau yang membuktika­n.

Pengalaman meliput Liga Champions, Piala Dunia Antarklub, Piala Eropa, dan Piala Dunia belum membawa saya pada situasi Pogba dihardik para pendukung atau pembenciny­a secara langsung. Namun, saya punya kisah tentang sang pemain terbaik dunia lima kali, Cristiano Ronaldo. Ketika itu, saya berada di Donetsk, Ukraina, untuk meliput Euro 2012. Ronaldo dan timnas Portugal baru saja tiba di Hotel Victoria, Donetsk, yang tak jauh dari Donbass Arena. Bukannya sambutan meriah yang didapatkan, malah teriakan ’’Messi, Messi, Messi’’ yang menggelega­r. Tentu saja itu ejekan. Dan, Ronaldo tetap santai berjalan turun dari bus menuju lobi hotel seperti tak ada angin dan tak ada hujan.

Bukan hanya Ronaldo yang mengalami situasi seperti itu. Lionel Messi malah berkalikal­i. Saya berada di Rio de Janeiro ketika Argentina kalah oleh Jerman pada final Piala Dunia 2014. Dan, Messi selalu saja menjadi sasaran hujatan dengan berbagai alasan. Bahkan, dituding lebih cinta Barcelona ketimbang Argentina. Juga, tak akan pernah segemilang Diego Maradona sampai kiamat.

Kalau bintang selevel mereka saja bisa jadi sasaran, maka tetap tegarlah para pemain Persebaya yang kemarin sore mendapatka­n sambutan ’’istimewa’’ dari Bonek di depan apartemen. Terima kasih karena tetap sabar meski tubuh letih sepulang dari Serui yang durasi waktunya lebih lama ketimbang penerbanga­n ke Eropa.

Saya tidak dalam kapasitas membenarka­n atau menyalahka­n tindakan segelintir Bonek yang sedang kecewa dan marah. Namun, saya meyakini, mereka tetap sepenuh hati mencintai Persebaya. Bukankah pernah kita marah kepada kekasih atau pasangan kita? Apakah saat marah masih tetap cinta? Apabila iya, itu cinta yang luar biasa.

Mungkin, itulah cara mereka mengkritik kinerja yang tergambar di lapangan hijau. Atau, bisa jadi hanya reaksi frustrasi lantaran ada jarak yang jauh terbentang antara mereka dan yang mereka cintai.

Saya selalu percaya bahwa kritik adalah bagian dari perhatian. Bagian dari kepedulian. Bagian dari cinta. Justru bila tak ada lagi kritik yang terucap, telah hilanglah bagian dari cinta itu. Lagi pula, cinta itu tidak harus selalu memuji, mengkritik juga bagian dari mencintai.

Pada akhirnya, seperti kata Pogba, inilah sepak bola. Apa pun alasan yang dikonsep untuk disampaika­n kepada suporter atau kepada media, pada akhirnya jawaban paling mujarab ada di lapangan hijau. Semua kritik akan lenyap ditelan bumi ketika menang, menang, dan menang. Atau setidaknya, tidak kalah, kalah, dan kalah.

 ??  ?? MOHAMMAD ILHAM
MOHAMMAD ILHAM

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia