Vaksinasi MR Ditunda Sebagian
Menunggu Sertifikasi Halal dari MUI
JAKARTA – Program pemberian vaksin measles-rubella (MR) atau campak Jerman menuai kontroversi di sejumlah daerah. Sebagian warga menolak vaksinasi tersebut. Mereka meragukan kehalalan vaksin itu. Sebab, belum ada sertifikat halal atas bahan baku vaksin MR dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)
J
Di tengah polemik tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), MUI, dan manajemen dari PT Bio Farma selaku importer vaksin itu mengadakan pertemuan di kantor MUI kemarin (3/8). Sejumlah kesimpulan yang bertujuan menenangkan masyarakat dihasilkan dari pertemuan tertutup tersebut. Salah satunya, program vaksinasi MR tetap dilanjutkan untuk mereka yang tidak mempermasalahkan isu sertifikat halal. Sebaliknya, bagi masyarakat yang meragukan kehalalan vaksin, program tersebut ditunda.
”Menunggu fatwa dari MUI. Insya Allah, tidak terlalu lama (keluar, Red),” kata Menkes Nila Djuwita F. Moeloek setelah pertemuan itu.
Nila mengatakan, vaksinasi MR selama ini berlangsung dalam dua tahap. Untuk Pulau Jawa, vaksinasi itu sudah berlangsung pada Agustus–September 2017. Sedangkan vaksinasi MR di luar Pulau Jawa atau fase kedua bakal berlangsung pada Agustus dan September tahun ini. Pada 2017 sempat muncul kontroversi soal kehalalan bahan baku vaksin MR, tapi bisa diredam. Namun, penolakan vaksin MR belakangan menguat di sebagian warga di luar Pulau Jawa.
Menurut dia, Kemenkes dan Bio Farma berkomitmen mengurus sertifikasi halal ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI. Dia menjelaskan, Bio Farma yang mengimpor bahan baku vaksin MR dari Serum Institute of India (SII) bakal mengirim ulang dokumen pengajuan sertifikat halal kepada LPPOM MUI.
Nila menambahkan, Kemenkes selaku wakil negara akan menyurati manajemen SII untuk meminta keterangan terperinci tentang bahan baku vaksin MR. Data itu penting untuk dikaji LPPOM MUI dalam rangka sertifikasi halal vaksin itu. ”Sebenarnya, sejak lama (meminta SII mengirimkan informasi komposisi, Red), tahun lalu, tetapi masih dalam proses,” ungkap dia.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan, pertemuan dengan Menkes dan perwakilan Bio Farma bertujuan menjamin hak-hak beragama masyarakat. Khususnya setelah sebagian warga di daerah resah tentang jaminan kehalalan vaksin MR. MUI merasa perlu bertemu dengan Kemenkes karena di masyarakat sudah ada sosialisasi bahwa vaksin MR halal. Klaim tersebut memicu keresahan. ”Sampai detik ini, sebelum ada pertemuan, vaksin MR dari SII belum tersertifikasi halal oleh MUI,” tegasnya.
Dalam pertemuan itu, lanjut dia, disepakati jalan keluar. Di antaranya, komitmen secara lisan dari Kemenkes dan Bio Farma untuk mengajukan sertifikasi halal. MUI siap melakukan langkah percepatan dalam penerbitan sertifikat halal.
Asrorun berharap Kemenkes dan Bio Farma benar-benar berkomitmen mengajukan sertifikasi halal untuk vaksin MR. Sebab, pengajuan sertifikasi itu diwacanakan sejak tahun lalu. Tetapi, kenyataannya, belum ada dokumen yang masuk ke LPPOM MUI untuk vaksin MR. ”Ada dua kemungkinan (hasilnya nanti, Red),” ucap Asrorun.
Pertama, vaksin MR dinyatakan bersih dari bahan-bahan haram dan najis sehingga sertifikat halal bisa dikeluarkan. Kedua, vaksin MR mengandung unsur najis atau haram. Kalau ditemukan unsur tersebut, vaksin itu akan ditetapkan haram. Namun, dia mengatakan, dengan pertimbangan tertentu, sebuah produk yang haram boleh dimakan. ”Tetapi, tidak mengubah status haramnya,” tutur dia.
Kondisi tertentu itu, antara lain, munculnya dampak buruk jika tidak divaksin, situasi mendesak, atau tidak adanya bahan lain yang bisa menggantikannya. Terkait dengan dampak tersebut, yang menyatakan harus pakar di bidangnya dan bebas dari intervensi seperti bisnis dan lainnya.
Yang pasti, lanjut Asrorun, MUI memperbolehkan imunisasi sebagai upaya kesehatan di ranah preventif untuk melindungi masyarakat. Meskipun imunisasi diperbolehkan, vaksinnya juga harus halal. ”Seperti makan, makan itu boleh, tetapi yang dimakan apa dulu,” tuturnya.
Sambil menunggu sertifikasi halal, Asrorun mengatakan bahwa Kemenkes sepakat untuk menunda program vaksinasi MR. Khususnya bagi masyarakat yang memiliki perhatian terhadap isu sertifikat halal.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes Anung Sugihantono menambahkan, penundaan sebagian program vaksinasi itu tidak ber- ada dalam konteks daerah atau wilayah. ”Karena ada daerah yang sudah menerima (vaksin MR, Red) dan tidak mempermasalahkan isu halal,” terang dia.
Untuk menindaklanjuti hasil rapat dengan MUI, terang dia, tenaga kesehatan akan tetap memberikan pelayanan vaksinasi MR bagi masyarakat yang tidak mempermasalahkan kehalalan vaksin. ”(Vaksinasi MR, Red) bukannya tidak wajib, tetapi ditunda sebagian,” terangnya. Kemenkes masih menunggu fatwa atau sertifikat halal MUI untuk vaksin MR tersebut.
Dirut Bio Farma Mas Rahman Roestan mengatakan, sejak tahun lalu pihaknya minta dokumen kehalalan vaksin MR kepada SII. ”Tetapi membutuhkan waktu karena (dokumen halal, Red) itu kompleks. Ini berjalan terus, tidak stop,” jelasnya. Dia menambahkan, pemahaman isu halal di India tidak sebesar di Indonesia. Karena itu, proses permintaan dokumen halal berjalan lambat.
Rahman menuturkan, produksi vaksin MR dengan skala besar hanya ada di Tiongkok dan India. Namun, vaksin MR dari Indialah yang sudah diakui WHO. Bahkan, vaksin tersebut juga sudah digunakan di 141 negara, termasuk negara-negara Islam seperti Arab Saudi. ”Ini jadi dasar kami minta India bantu.”
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Kesehatan dan Napza Sitti Hikmawatty menegaskan, vaksin MR harus diberikan kepada anak-anak. Menurut dia, ada sekitar 6.000 kasus rubela yang sudah dilaporkan. ”Itu yang lapor. Nah, kalau ditambah yang belum, lebih banyak. Bahkan, rubela juga terjadi kepada keluarga dokter,” katanya saat dihubungi Jawa Pos kemarin. Sitti menegaskan risiko jika ada yang tidak mengikuti vaksinasi MR. Yakni, kekebalan komunitas tidak bisa terjadi.
Sitti menjelaskan, KPAI menerima 40 surat yang menyatakan anak meninggal karena imunisasi MR. KPAI pun melakukan penelusuran. ”Kami belum bisa buktikan kepada umum. Namun, dalam waktu dekat akan mengundang pihak terkait,” terang dia.
Namun, Sitti optimistis bahwa program vaksinasi MR itu akan sukses. Kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI) dengan vaksin MR tahun lalu di Jawa-Bali hanya dialami 191 di antara 32 juta anak yang divaksin. Di antara 191 anak tersebut, hanya 2 yang betul-betul sakit karena vaksin MR. ”Itu pun sudah diobati oleh Kemenkes. Dari kejadian yang hanya sebagian kecil itu, program tersebut bisa dikatakan berhasil,” tutur Sitti.
Mengenai klaim vaksin MR tidak boleh digunkan karena tidak halal, Sitti menyarankan MUI dan Kemenkes duduk bersama. Dia tidak melihat adanya niat buruk dari salah satu pihak. Hanya, belum ditemukan titik tengah.