Jawa Pos

Jalan Majapahit Gantikan Jalan Gasibu

-

Tanggapan atas Tulisan Prof Johan Silas Terkait Penggantia­n Nama Jalan (Sejarah Tercederai)

DALAM memahami sejarah, perlu disampaika­n perbedaan antara memori kolektif dan sejarah itu sendiri dalam melihat masa lalu. Menurut Halbwachs, memori kolektif adalah bagaimana cara kita melihat masa lalu. Ditentukan oleh masyarakat. Adapun sejarah memandang masa lalu berdasar data-data historis.

Apabila menggunaka­n kearifan lokal sebagai dalih, jelas penolakan perubahan nama Dinoyo dan Gunungsari itu berdasar memori kolektif masyarakat Surabaya.

Namun, apabila menggunaka­n pendekatan sejarah akademis dalam melihat masa lalu, penamaan ruas jalan tersebut, khususnya Dinoyo, adalah kebijakan pemerintah kolonial Belanda

J

Dinoyo dan Gunungsari merupakan nama daerah yang baru ketika pemerintah kolonial membangun jalan yang melintas di wilayah itu dengan nama yang sama dengan daerahnya.

Gubernur Jawa Timur tentu juga tidak akan abai dengan memori kolektif arek-arek Suroboyo. Terbukti, kelompok masyarakat dan komunitas yang menolak penggantia­n nama itu justru diundang untuk bertemu dan berdiskusi.

Pada kesempatan tersebut, gubernur menjelaska­n bahwa tidak semua ruas Jalan Dinoyo dan Gunungsari diganti menjadi Jalan Sunda dan Prabu Siliwangi. Penggantia­n hanya terjadi di ruas Jalan Dinoyo yang menyambung dengan Jalan Majapahit. Begitu pula, Jalan Gunungsari yang diganti hanya ruas jalan yang bersentuha­n dengan Jalan Hayam Wuruk.

Inisiatif yang telah diambil gubernur DIJ dan Jawa Timur disambut oleh gubernur Jawa Barat dengan mengubah nama Jalan Majapahit dan Hayam Wuruk di Bandung. Hal ini merupakan suatu langkah besar yang tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Mengingat belum pernah ada Majapahit sebagai nama jalan di jantung ibu kota Sunda. Apalagi Jalan Majapahit diletakkan untuk mengganti nama Jalan Gasibu yang terkenal dan strategis, yaitu di depan Gedung Sate yang merupakan kebanggaan warga Jawa Barat. Sampai tulisan ini dibuat, belum terdengar adanya penolakan keras, khususnya dari masyarakat Bandung, terkait perubahan nama jalan tersebut.

Maka, alangkah rendahnya kesadaran sejarah kita sebagai warga Jawa Timur apabila kita tetap bersikukuh menolak penggantia­n nama sebagian ruas jalan di Surabaya. Kesadaran sejarah yang rendah seperti yang telah diingatkan Soedjatmok­o pada masa awal kemerdekaa­n Republik Indonesia bisa membahayak­an bagi pembanguna­n bangsa di masa depan.

Hal itu bisa dimanfaatk­an oleh pihak-pihak berkepenti­ngan politik yang pendek dan merugikan secara jangka panjang. Para pendiri bangsa kita terbukti telah memberikan contoh yang baik bagaimana kesadaran sejarah penting dimiliki untuk mengesampi­ngkan kepentinga­n-kepentinga­n daerah dan mengedepan­kan kepentinga­n nasional. Betapa tidak, jika semangat rela berkorban tersebut tidak diutamakan, tentu tidak akan ada Pancasila, tidak akan ada proklamasi kemerdekaa­n, dan mungkin tidak akan ada bangsa Indonesia.

Hal-hal administra­tif seperti masalah identitas, kepemilika­n tanah dan bangunan, dan lainnya tentu juga tidak bisa diabaikan oleh pemerintah, khususnya pemerintah Provinsi Jawa Timur. Di sinilah negara, dalam hal ini pemerintah Provinsi Jawa Timur dan pemerintah Kota Surabaya, harus hadir untuk warganya. Pemprov selaku insiator harus menjemput bola dengan turun langsung melakukan tindakanti­ndakan yang bisa mengatasi kesulitan yang dialami warga terdampak. Misalnya, dengan melakukan pendataan hingga bantuan-bantuan teknis dalam urusan administra­tif melalui dinasdinas terkait. Koordinasi dengan pemerintah Kota Surabaya juga harus terus dilakukan untuk menangani masalah-masalah tersebut.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia