Dewan Tanyakan Nasib Proyek Cable Car
Komisi A Rapat Bersama Bappeko
SURABAYA – Posisi kepala badan perencanaan pembangunan kota (bappeko) kosong lima bulan. Hal itu dipermasalahkan dalam rapat hearing komisi A tentang proyek cable car atau kereta gantung kemarin (3/8). Pelaksana tugas (Plt) kepala bappeko tidak hadir. Sementara itu, perwakilan yang dikirim tidak bisa menjawab pertanyaan dari anggota dewan.
”Kok iso bappeko enggak ngerti. Kalau bappeko saja tidak tahu, apalagi dinas lain,” ujar Ketua Komisi A DPRD Surabaya Herlina Harsono Njoto saat memimpin rapat.
Politikus Partai Demokrat itu bertanya kepada perwakilan bappeko bagaimana konsep proyek cable car yang memanjang dari Jembatan Suramadu hingga Jembatan Suroboyo. Jembatan tersebut akan melintang di Pantai Kenjeran.
Pertanyaan kedua kembali dilontarkan. Kali ini Herlina mempertanyakan bentuk kerja sama antara pemkot dan pihak swasta yang mendanai proyek itu. Apakah kerja sama tersebut berbentuk
build operate transfer (BOT) atau
corporate social responsibility (CSR). Perwakilan bappeko itu lagi-lagi tidak tahu. Dia hanya menjawab bahwa dirinya hadir mewakili rekannya yang sedang menjalani dinas lain. Proyek tersebut bukan bidangnya.
Herlina membentak. Dia kesal karena kekosongan kepala bappeko sudah lama dia protes. Namun, hingga kini pemkot tidak mengisi posisi itu secara definitif. Pelaksana tugasnya dijabat M. Taswin, asisten perekonomian dan pembangunan. Taswin jarang datang ke rapat hearing dan sering mendelegasikan kepada kepala bidang dan kepala seksinya.
Karena perwakilan bappeko tidak bisa menjawab, pertanyaan itu akhirnya diarahkan kepada pihak swasta yang membiayai. Namun, kejelasan tentang proyek tersebut tetap tak terjawab.
Direktur PT PP Properti Suramadu Achmad Mujiono menerangkan bahwa pihaknya bakal membangun proyek itu. Lahan yang digunakan sebagian milik perusahaan dan sebagian lagi aset pemkot. Saat ini proyek tersebut mulai berjalan. Cable car bakal dikelola PT PP selama satu tahun. Setelah itu, pengelolaan diserahkan ke pemkot.
Masalah terjadi saat pemkot membongkar pos-pos nelayan di pesisir pantai. Pembongkaran tersebut dilakukan agar alat berat bisa masuk ke jalan selebar 4 meter. Namun, para nelayan menganggap pembongkaran itu tidak adil. Dilakukan sepihak tanpa pemberitahuan. Akibatnya, belasan mesin nelayan hilang.