Pertarungan 2024 Bakal Lebih Dinamis
Dari Diskusi Pemilu/Pilpres Ideal bagi Indonesia (2-Habis)
MESKI masih banyak paradoks dalam sistem pemilu di Indonesia, optimisme bahwa demokrasi di negeri ini akan lebih baik tetap tinggi. Tentu harus dengan sejumlah perbaikan regulasi.
Pemilihan Umum Presiden 2019 bisa dibilang sebagai pemilu dengan pilihan yang terbatas. Rakyat tidak punya banyak pilihan tokoh. Sebab, terkunci di dua tokoh, Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto
Guru besar ilmu politik Universitas Airlangga (Unair) Prof Kacung Marijan PhD mengatakan, sulit bagi calon lain muncul pada Pilpres 2019. Meskipun sebenarnya masih memungkinkan untuk membentuk poros ketiga. Selain itu, dalam berbagai survei, elektabilitas Jokowi masih kurang dari 50 persen. Secara teori, Jokowi masih bisa dikalahkan. ”Ibaratnya, masyarakat hanya diberi dua menu. Soto atau rawon. Tidak ada pilihan lain,” katanya.
Di sisi lain, parpol-parpol di Indonesia mencari coattail effect (efek ekor jas) dari pilpres kali ini. Di mana partai memanfaatkan popularitas para kandidat capres/ cawapres untuk mendongkrak suaranya. ”Kondisi itu tak lepas dari kaderisasi maupun penjaringan tokoh potensial di partai yang kurang berjalan,” katanya.
Hal senada diungkapkan oleh Komisioner KPU periode 2012–2017 Ferry Kurnia Rizkiyansyah. Bahkan, dia menyebut fungsi penyaringan calon kini malah dilakukan oleh KPU. ”Misalnya terkait penjaringan atau seleksi calon anggota legislatif,” katanya.
Dalam tahap itu, menurut Ferry, KPU melakukan seleksi terkait dengan track record calon dengan cara memberikan kesempatan kepada publik untuk menyampaikan masukan. ”Padahal, seharusnya fungsi itu dijalankan oleh partai,” papar dia.
Meski sistem kepemiluan di negeri ini masih punya banyak kekurangan, peluang memperbaiki demokrasi di Indonesia masih cukup terbuka. Tentunya dengan mengubah sistem.
Kacung menyebutkan, upaya membangun sistem presidensial secara murni di Indonesia sebenarnya sudah lama dilakukan, tapi masih sulit. ”Ini tak lepas dari desain kelembagaan kita yang masih rasa parlementer sehingga mengharuskan adanya koalisi,” papar dia.
Karena itu, menurut Kacung, upaya membangun pilpres berbasis sistem presidensial murni penuh problem. ”Presidential threshold masih jadi keniscayaan. Khususnya bagi terbangunnya pemerintahan yang efektif dan efisien,” katanya.
Selain itu, Kacung maupun Ferry sepakat bahwa perlu ada perbaikan di sejumlah sektor. Antara lain terkait dengan kaderisasi dan fungsi parpol untuk memunculkan caloncalon pemimpin masa depan.
Perbaikan itu bisa dilakukan pada Pemilu-Pilpres 2024. Sebab, cukup banyak potensi yang bisa dimanfaatkan agar iklim demokrasi Indonesia bisa lebih baik lima tahun ke depan.
Apa saja? Salah satunya adalah sudah bermunculannya tokoh-tokoh potensial yang layak untuk bisa berkontestasi dalam Pilpres 2024.
”Pada pilpres nanti ada banyak menu yang bisa disajikan untuk masyarakat,” kata Kacung.
Dia menyebutkan, saat ini cukup banyak calon potensial yang sudah muncul. Misalnya, Gubernur DKI Anies Baswedan, Gubernur Jatim terpilih periode 2019–2024 Khofifah Indar Parawansa, Komandan Kogasma DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, dan Gubernur Jateng terpilih Ganjar Pranowo. ”Dan yang positif lagi, calon-calon itu lahir dari daerah. Persis dengan sistem kaderisasi yang terjadi di KPU,” papar dia.
Selain itu, sejumlah parpol berpengaruh di Indonesia bakal mengalami suksesi dalam lima tahun ke depan. ”Akan muncul figur-figur baru pimpinan parpol,” katanya.