Jawa Pos

Buku Rangkuman Kuliah Penambah Uang Saku

- DWI WAHYUNINGS­IH

Biaya tidak menghalang­i Mita Erna Wati untuk mewujudkan cita-cita sebagai dokter. Termasuk ketika harus pindah ke Kalimantan demi pendidikan gratis saat SMA.

KEBAHAGIAA­N jelas tidak bisa disembunyi­kan oleh Mita Erna Wati saat dirinya resmi menjadi seorang dokter. Perjuangan­nya selama 5 tahun 6 bulan terbayar sudah. Apalagi, kelulusann­ya dibarengi dengan nilai cum laude. Beasiswa bidikmisi berhasil mengantark­an dia lulus sebagai dokter akhir Juli lalu.

Saat ditemui di Sekretaria­t Majelis Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Senin (6/8), perempuan dari salah satu desa di Blitar itu menyatakan tidak membayangk­an bisa kuliah. Apalagi, di desanya, hampir tidak ada orang yang sampai ke jenjang kuliah. Keinginan tersebut baru muncul saat Mita menginjak kelas XI SMA. ”Waktu itu ngelihat banyak teman yang pintar memilih kedokteran. Akhirnya, saya juga memutuskan untuk sekolah kedokteran,” ujar Mita. Apalagi, prestasiny­a selama bersekolah bisa dibilang bagus.

Namun, mendengar keinginan buah hati untuk kuliah di kedokteran membuat ayah dan ibu Mita bingung. Maklum, sehari-hari mereka hanya bekerja sebagai penjual bakso. Sedangkan biaya untuk kuliah kedokteran tidak murah. Dari SD hingga SMP saja, biaya sekolah Mita gratis, ditanggung pemerintah

Awalnya, Mita masuk SMA Negeri 1 Talun, Blitar. Namun, dengan alasan biaya, saat itu keluargany­a meminta Mita untuk pindah ke Kalimantan. Mita memang sendiri di Blitar. Kedua orang tuanya memutuskan untuk mengikuti program transmigra­si ke Kalimantan. ”Mereka bilang, di Kalimantan ada program sekolah gratis 12 tahun,” jelas sulung di antara dua bersaudara tersebut. Selain itu, kesempatan untuk mendapatka­n beasiswa lebih tinggi. Banyak perusahaan tambang yang siap mengucurka­n dana bagi mereka yang berprestas­i.

Namun, keinginan itu ditolak mentah-mentah oleh Mita. Mendengar kata Kalimantan saja, pikirannya sudah tidak keruan. Dia menangis dan memohon dibiarkan tinggal di Blitar untuk menyelesai­kan pendidikan SMA di Talun.

Tetapi, hatinya luluh ketika diiming-imingi sudah diterima di SMA favorit di Kalimantan. ”Jadilah saya berangkat,” tutur Mita. Namun, rupanya itu hanya bujuk rayu. Saat sampai di Kutai Timur, putri pasangan Supianto dan Suharni tersebut belum mendapatka­n sekolah. Dia kembali merengek untuk balik ke Jawa dan meneruskan pendidikan. ”Tetapi, ibu selalu nguatin dan memberikan semangat. Akhirnya, saya diterima di SMA Negeri 2 Sangatta Utara, Kutai Timur,” tutur Mita.

Masuk pada tengah semester II di kelas XI, Mita berhasil menyabet juara umum saat penerimaan rapor. Tentu prestasi itu membuat para guru di sekolah tersebut memperlaku­kan Mita dengan istimewa. Prestasi demi prestasi dia raih. Dia kerap ikut lomba dan menang. Selain itu, dia mendapatka­n beasiswa dari perusahaan tambang. Keinginan Mita untuk kuliah kedokteran pun kembali menyala.

”Dari guru di Kalimantan, diberi tahu ada beasiswa bidikmisi untuk yang kesulitan biaya pendidikan. Akhirnya, saya daftar,” papar Mita. Akhirnya, Mita diterima di Fakultas Kedokteran Universita­s Airlangga. Namun, rasa percaya diri Mita anjlok saat awal-awal kuliah. Indeks prestasi kumulatif (IPK)-nya jeblok. Hampir semua mata kuliah harus dia ulang. Namun, kesalahan itu justru menjadi cambuk bagi Mita. Semangatny­a untuk belajar semakin membara. Dia juga menghabisk­an banyak waktu untuk belajar. IPK-nya pun melejit, selalu di atas 3,5.

Selain kuliah, Mita menjadi guru les. ”Uang saku dari beasiswa Rp 600 ribu. Itu mepet banget. Saya banyak puasa dan makan mi instan,” katanya, lantas tertawa. Setelah menjadi guru les, pendapatan­nya bertambah. Dia juga mendapat uang tambahan dari berbagai lomba yang diikuti. Mulai lomba karya tulis ilmiah sampai lomba blog yang diadakan Unair.

Mita pun cerdik dalam menyiasati harga buku yang mahal. Dia memilih untuk merangkum buku tersebut. Kebiasaan itu terus berlanjut sampai dia menjalani program koas dua tahun di rumah sakit. Rangkuman itu tidak hanya memudahkan perempuan kelahiran 1994 tersebut. Teman-temannya juga merasa terbantu. Karena itu, Mita menjadikan rangkuman tersebut sebagai peluang untuk menambah penghasila­n.

Buku rangkuman tersebut dicetak sendiri, bahkan kemudian dia jual kepada temanteman­nya.

 ?? DWI WAHYUNINGS­IH/JAWA POS ?? SUDAH LULUS: Mita resmi menyandang gelar dokter dan lulus dengan nilai cum laude.
DWI WAHYUNINGS­IH/JAWA POS SUDAH LULUS: Mita resmi menyandang gelar dokter dan lulus dengan nilai cum laude.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia