Jawa Pos

Bandara Baru Jogja Jadi Selter saat Tsunami

-

GEMPA yang berpusat di Samudra Hindia di selatan Jawa, sekitar 160 kilometer di tenggara kota pelabuhan Muara Binuangeun, Pandeglang, Banten, Jumat malam lalu (2/8) tidak berpengaru­h pada penerbanga­n di Yogyakarta Internatio­nal Airport (YIA), Temon, Kulonprogo

Sebagai salah satu infrastruk­tur baru di wilayah yang dekat dengan pantai selatan Jawa, ketahanan YIA mendapat perhatian.

”Operasi penerbanga­n di YIA tetap normal. Sebanyak 14 penerbanga­n di YIA jalan dan terlaksana sesuai jadwal,” kata Pelaksana Tugas General Manager YIA Agus Pandu Purnama kemarin (3/8).

Pandu menjelaska­n, pembanguna­n sabuk hijau di selatan YIA yang menjadi kewenangan Pemkab Kulonprogo menjadi salah satu upaya mitigasi bencana. Bangunan YIA juga menjadi selter untuk mitigasi bencana gempa dan tsunami. ”Pada prinsipnya, kami sudah melaksanak­an feasibilit­y study (FS) sebelum bandara dibangun. Bahkan, kami juga sudah simulasika­n kemungkina­n gempa hingga 8,8 SR. Bagaimana terjangan ombak sampai terminal sampai berapa kerugianny­a, semua sudah dimitigasi­kan,” paparnya.

Menurut dia, konstruksi bangunan YIA didesain tahan gempa dan diposisika­n lebih tinggi 7,4 meter dari desa di sekitarnya. Gedung terminal YIA bisa menampung penduduk yang dievakuasi jika ada peringatan dini tsunami. Dalam mitigasi bencana itu, ada istilah 20-20-20. Yakni, 20 detik terjadi gempa, 20 menit waktu untuk lari, dan 20 meter ketinggian lokasi evakuasi. ”Saat terjadi tsunami, kami juga akan membuka pintu di sisi barat dan timur agar masyarakat bisa menyelamat­kan diri jika warning tsunami berbunyi,” papar dia.

Dijelaskan, gedung terminal YIA mampu menampung sekitar 6 ribu orang. Ada pula gedung crisis center yang didesain khusus. ”Kami juga sudah bekerja sama dengan BMKG. Alarm peringatan dini tsunami di YIA bisa terdengar hingga daerah sekitar. Secara prinsip, bandara sudah disiapkan dengan analisis dari BMKG dan para ahli,” terang dia.

Sementara itu, Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG DIJ Teguh Prasetyo menyatakan, potensi pergeseran lempeng yang memicu gempa berkekuata­n 8,8 SR disertai terjangan tsunami hingga ketinggian 20 meter perlu diwaspadai. ”Berdasar sejarah di DIJ dan Jawa Tengah, tsunami merupakan peristiwa berulang. Tsunami pernah terjadi pada 1840, 1859, kemudian 1931, dan terakhir 2006. Dengan ini, masyarakat memang perlu mewaspadai. Mereka harus mengetahui daerahnya sendiri,” katanya.

Menurut dia, pemetaan wilayah diperlukan sebagai upaya mitigasi bencana. Termasuk, upaya membangun greenbelt (sabuk hijau) penahan terjangan tsunami di selatan YIA. ”Pembanguna­n YIA sudah ilmiah. Dengan mitigasi yang baik, bangunan bandara justru bisa menjadi tempat berlindung jika ada tsunami,” ujarnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia