Jawa Pos

Berbahasa Gaul, Kenapa Tidak?

- Oleh DJOKO SARYONO

Guru besar sastra Universita­s Negeri Malang

BAHASA gaul, atau nama lain yang setara, tak pernah mati. Bahkan, ibaratnya tak pernah mengenal musim kemarau. Selalu tambah subur dan populer di taman bahasa kita.

Juga, kian tersebar luas ke berbagai kalangan masyarakat Indonesia, terutama kaum muda

Dari ujung barat sampai timur Indonesia. Mulai ujung utara hingga selatan tanah air. Di samping itu, makin merasuk sendisendi pelbagai medium komunikasi massa. Terutama media massa dan media sosial.

Marilah kita bepergian ke Aceh. Kita niscaya ”bertemu” dengan bahasa gaul. Begitu juga marilah melawat ke Papua. Kita akan ”bertemu” dengan bahasa gaul pula.

Cobalah buka dan sigi koran dan majalah, niscaya kita akan berhadapan dengan bahasa gaul. Begitu juga cobalah tonton dan simak acara-acara televisi, apalagi internet, niscaya kita bakal berjumpa pula dengan bahasa gaul.

Pendek kata, ke mana pun menghadap di wilayah Indonesia –terutama perkotaan– kita niscaya ”berjumpa” dengan yang disebut bahasa gaul. Apa pun media massa dan media sosial yang kita hadapi, niscaya kita diharu biru bahasa gaul. Sungguh luar biasa, bahasa gaul menjadi panorama bahasa di seluruh negeri Indonesia.

Tak heran, pemakaian bahasa gaul juga makin tinggi-sering frekuensi, luas jangkauan, dan beragam pemakainya. Dalam berbagai komunikasi sehari-hari, pada berbagai kesempatan atau situasi, pemakaian bahasa gaul senantiasa kita temukan.

Pada percakapan di pesta ulang tahun seorang karib sampai dengan percakapan di plaza-plaza, pemakaian bahasa gaul juga yang kita saksikan. Begitu pula di berbagai tempat di Indonesia –baik kota metropolit­an maupun kota kecil– pemakaian bahasa gaul sudah menjadi penorama biasa.

Bilamana datang ke Surabaya, apalagi ke Jakarta, maklumlah kita melihat pemakaian bahasa gaul yang begitu dominan. Tapi, datanglah ke kecamatan pelosok di Nusa Tenggara Timur, tentu kita boleh geleng-geleng kepala melihat pemakaian bahasa gaul di kalangan kaum muda.

Para pemakai bahasa gaul pun makin beraneka ragam golongan dan profesinya. Kalau selebritas atau artis dan anak-anak ABG perkotaan sih tak aneh. Tapi, kalau orang-orang tua dan anakanak milenial di kota-kota kecil? Bolehlah kita ternganga atau paling tidak heran akan ”keluarbias­aan” pemakaian bahasa gaul.

Apakah gejala bahasa gaul dan pemakaian bahasa gaul tersebut merupakan ”penyakit bahasa” di taman sari bahasa Indonesia? Apakah bahasa gaul ibarat rumput liar di taman bahasa Indonesia sehingga harus dicabuti [lantaran merusak bahasa Indonesia]? Apakah pemakaian bahasa gaul perlu dilarang lantaran mengganggu pemakaian bahasa Indonesia yang baku, mengganggu kebijakan pengutamaa­n bahasa Indonesia di ruang publik?

Kini kita sudah menghirup kehidupan demokrasi pada zaman yang menyanjung-nyanjung kemajemuka­n alias keberagama­n. Larang-melarang tak laku lagi. Ketunggala­n tak dibutuhkan lagi.

Itu sebabnya, bahasa gaul tak perlu dipandang secara negatif, apalagi dianggap sebagai penyakit bahasa, sehingga sampai harus ”dicabuti” dari taman bahasa Indonesia. Biarkan saja dan lindungi hak hidup bahasa gaul.

Biarkan bahasa gaul hidup di taman sari bahasa Indonesia. Pemakaian bahasa gaul juga tak perlu dipandang mengganggu pengutamaa­n bahasa Indonesia di ruang publik sehingga tak perlu dilarang.

Kenapa bahasa gaul dan pemakaian bahasa gaul perlu dibiarkan, tak perlu dicegah dan dilarang? Banyak alasan bisa dikemukaka­n. Alasan itu adalah (a) bahasa gaul hanya merupakan salah satu ragam bahasa Indonesia, (b) bahasa gaul justru memperkaya ragam dan daya ungkap bahasa Indonesia, dan (c) bahasa gaul menunjukka­n kemajemuka­n budaya di bidang bahasa Indonesia.

Selain itu, karena pemakaian bahasa gaul (d) melayani penuturnya untuk mengekspre­sikan diri, (e) bisa membantu para pemakainya untuk melindungi diri atau mengekspre­sikan diri, dan (f ) menyantuni kemajemuka­n komunikasi berbahasa Indonesia. Itu berarti, bahasa gaul dan pemakaian bahasa gaul tidak bisa divonis jelek atau diadili sebagai berengsek.

Yang jelek atau berengsek –dan karena itu harus dihindari– bila kita hanya mengetahui, menguasai, dan menggunaka­n bahasa gaul, tetapi tidak mau dan mampu mengutamak­an bahasa Indonesia di ruang publik. Kenapa demikian? Bahasa gaul hanya merupakan salah satu ragam bahasa Indonesia di samping ragam-ragam bahasa lain; dan pemakaian bahasa gaul hanya merupakan salah satu situasi pemakaian bahasa Indonesia.

Kita perlu, malah harus, mengetahui, menguasai, dan menggunaka­n bermacam-macam ragam bahasa Indonesia selain bahasa gaul. Kita juga perlu, malah harus bisa, menggunaka­n bahasa gaul sesuai dengan tempat, waktu, dan situasi pemakaiann­ya.

Demikian juga harus bisa menggunaka­n ragam-ragam bahasa lainnya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan komunikasi. Karena itu, jagalah bahasa gaul dan pakailah sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan tempatnya.

Selain itu, marilah kita kembangkan ragam-ragam bahasa lainnya. Sekaligus marilah kita tingkatkan kemahiran dan kepiawaian kita memakai berbagai ragam bahasa Indonesia selain ragam bahasa gaul.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia