Jawa Pos

Malah Atiku Sing Diceklekne Disik

Kata Didi Kempot, dia dan karya-karyanya dibentuk oleh keteguhan berkesenia­n sang bapak, bakat warisan ibu, dan hari-hari yang dihabiskan­nya untuk ngamen, termasuk nikmatnya tertidur siang di sebuah pemakaman.

- DIAR CANDRA, Probolingg­o-KHAFIDULUL ULUM, Jakarta, Jawa Pos

DI malam-malam yang kian larut, ketika mata sulit memejam, hati siapa yang tak koyak saat ”tansah kelingan sliramu”. Siapa pula yang tak langsung berharap jadi malaikat

bersayap, setelah mendapati sebongkah kerinduan dalam selembar surat, seraya menggumam, ”Cah ayu entenono tekaku.”

Duh, ”Lord” Didi Kempot, dari mana semua kenelangsa­an karena ”selalu ingat dia” dari Ketaman Asmoro itu kautuliska­n? Ampuni kami, Lord, tapi dari mana semua kepedihan karena hanya bisa meminta kepada ”cah ayu agar setia menunggu” dalam Layang Kangen itu bermula?

Juga ratusan kesedihan yang kaugoreska­n dengan liris di lagu-lagumu lainnya. Kesedihan yang membikin siapa saja bisa ambyar. Tapi, anehnya, di saat yang sama juga menuntut untuk dirayakan. Untuk dijogeti. Yang membuatmu sampai dijuluki The Godfather of Broken Heart. Sekaligus membuat para pemujamu memanggilm­u Lord. Dan popularita­smu itu pun yang akhirnya membawamu melintasi berbagai demarkasi penikmat musik. Dari jomblowan-jomblowati di kamar-kamar kos, tuan dan nyonya gedongan kota-kota besar, sampai mereka yang bahkan tak mengerti bahasa Jawa.

Bisa jadi, katamu menjelang persiapan manggung di sebuah pertunjuka­n jazz di kawasan Gunung Bromo, Probolingg­o, Jawa Timur, akhir pekan lalu, semua itu bermula dari suatu malam di Balekamban­g, Solo. Saat kau dan kakakmu, Mamiek Prakoso (kini sudah almarhum), hampir setengah abad silam, diajak bapakmu yang seorang seniman ketoprak tobong Ranto Edi Gudel (almarhum) manggung.

Malam itu kausaksika­n langsung kerasnya perjuangan bapakmu untuk menafkahi keluarga. Keluarga yang diajaknya berpindah-pindah kontrakan dan tempat kos. Yang kerap membonceng­kanmu di sepeda pancal karena memang hanya itu kendaraan yang dia punya.

Malam itu bapakmu main jadi Petruk, lengkap dengan kostum dan riasan. ”Saya ingat, beliau waktu itu bilang, iki bapak nggolekne duit kowe (Ini bapak mencarikan nafkah buat kamu, Red),” katamu.

Periode lara lapa bersama bapak itu, juga pengalaman hidup mbambung di Solo dan Jakarta sebagai pengamen, yang, katamu, membentukm­u jadi seperti sekarang. Tak pernah tumbang oleh kesulitan. Malah ”menertawai­nya” lewat lagu-lagumu.

Semacam semangat ”modal bensin seliter montorku taksetater//Takampiri arep takjak muter-muter” dalam Cintaku Sekonyong-konyong Koder.

Bapak, katamu, memang tak pernah lupa menyelipka­n guyonan sebagai penyemanga­t di sela-sela berbagai kebersahaj­aan hidup. ”Bapak kalau ngguyoni

anak-anaknya bilang, nek arep dadi seniman ojo wedi luwe

(kalau mau jadi seniman jangan takut lapar, Red). Satu lagi, jangan mimpi kaya dulu,” katamu.

Dalam bukunya, Seni Pertunjuka­n Indonesia, RM Soedarsono menulis, seniman ketoprak (seperti juga Ranto Edi Gudel) yang besar pada era Orde Baru memang selalu punya cara meledek kebijakan pemerintah. Salah satunya dengan lawakan.

Pada era itu, pihak militer biasanya meneliti naskah ketoprak. Sutradara Ketoprak Korpri Universita­s Gadjah Mada Suroto mengungkap­kan, sistem sensor tersebut dilakukan agar tidak ada naskah yang dianggap berbau subversif. Dalam setiap pemanggung­an, rata-rata grup ketoprak harus menyetor naskah ke koramil terdekat untuk diperiksa.

”Hanya bagian goro-goro atau lawakan yang tak bisa disensor militer. Karena bagian itu biasanya penuh dengan improvisas­i dari si aktor,” jelas Suroto.

Dari semangat berkesenia­n bapakmu itu, kau jadi ingat, bagaimana selama ngamen di Jakarta, kau sebenarnya menyewa kos di kawasan Kemanggisa­n, Jakarta Barat. Tapi, di siang hari yang terik, kau lebih senang merebahkan diri di area pemakaman Kemanggisa­n. ”Adem, enak, dan keramiknya anyep hehehe,” katamu.

Bakatmu menyanyi memang sudah terlihat sejak di bangku sekolah dasar. Beberapa kali kau memenangi lomba menyanyi. Tak seperti kakakmu yang tumbuh mewarisi keterampil­an bapak sebagai pengocok perut, katamu, bakatmu menyanyi menurun dari bundamu, Umiyati. Meski, katamu melanjutka­n, ibumu hanyalah penyanyi amatiran antarkampu­ng.

”Keluarga Berencana Sudah Waktunya,” jawabmu tentang lagu yang kerap membuatmu menang lomba. Sebenarnya itu baris pertama Mars Keluarga Berencana yang populer pada 1970-an, tahun-tahun ketika kau menghabisk­an masa kecil.

Radio dan televisi juga kauakui turut berperan dalam karirmu. Dari radio berkotak kayu merek Philips milik bapak, kau mendengar Koes Plus dan Waldjinah, juga Mus Mulyadi. ”Radio itu biar suaranya seperti ada salon

(speaker)-nya dimasukkan ke dalam gentong. Suaranya jadi

nguuung,” ucap Didi. ”Kalau TV ndak punya, kalau nonton TV harus neng omahe tetangga,” tambah Didi.

Lewat ngamen rutin di Solo, bakatmu kian terasah begitu kau menginjak masa remaja. Nama Kempot (yang ”menggantik­an” Prasetyo di belakang Didi) pun berasal dari Kelompok Pengamen Trotoar yang disingkat Kempot.

Dari mengamen pula, katamu, banyak lirikmu lahir. Stasiun Balapan salah satunya. Juga berbagai terminal dan pelabuhan yang kautulis dalam karya-karyamu. Tempat-tempat di mana terjadi pertemuan dan perpisahan. Begitu pula objek-objek wisata alam yang dalam bayanganmu selalu punya kenangan bagi mereka yang mabuk asmara.

Stasiun Balapan (1999) adalah album yang melambungk­an namamu. Dua dekade yang lalu, album yang meluncur pascarefor­masi itu menjadi sasaran utama para pembajak untuk diedarkan.

Namun, kau tak pernah pusing dengan itu. ”Aspek hukum sudah ada yang mikir sendiri. Wong podo golek pangane, mbok yo wis ben wae (Orang sama-sama cari makannya, ya sudah biarkan saja, Red),” tuturmu.

Kata Lestari Cempluk, penggiat seni asal Solo, itu memang ciri khas para seniman dari Kota Bengawan. Di zaman Ranto Edi Gudel, semua aktivitas seni di Solo itu bersifat komunal dan tanpa berpikir soal laba atau keuntungan.

”Karena semua seni kala itu tanpa embel-embel atas nama uang dan lain-lain. Jadi, seniman-seniman itu benar-benar menikmati proses

lara lapa sebagai bagian penempaan diri,” papar Lestari.

Melambungn­ya dirimu saat ini, kata dosen Komunikasi Terapan Universita­s Sebelas Maret (UNS) dan ISI Solo Joko S. Gombloh, sebenarnya juga tak mengagetka­n. Itu buah konsistens­imu selama tiga dekade lebih.

Menurut Joko, karya-karyamu lebih pas dikategori­kan sebagai pop Jawa. Kalau didefinisi­kan, pop Jawa adalah lagu yang bertema asmara dan disajikan dengan bahasa Jawa.

”Campursari saat ini menjadi maskot musik Jawa dan Didi Kempot ini secara formula berada di wilayah yang bertolak belakang dengan campursari pendahulun­ya seperti Ki Narto Sabdo, juga Manthous,” terang Joko.

Jika Narto Sabdo dan Manthous memakai bahasa Jawa kromo (halus) yang banyak pasemon atau kiasan dalam karya-karya mereka, kau, kata Joko, memilih menggunaka­n bahasa Jawa ngoko atau bahasa Jawa keseharian. Dan Cintaku Sekonyong-konyong Koder, bagi Joko, adalah karyamu yang paling brilian. Secara makna, kata ”koder” tak akan ditemukan di dalam bahasa apa pun. ”Koder ini lahir dari imajinasi penulis dan juga kegeniusan seniman menemukan kata tersebut,” ucap Joko.

Bagimu, koder itu untuk menggambar­kan rasa cinta yang tidak keruan. Apa itu karena kau sering membikin patah hati perempuan? ”Lho ora. Saya dipatahin dulu.

Atiku sing diceklekne disik (hatiku yang dipatahkan dulu, Red). Kalau yang takpatahin hati,

nggak tahu saya hehehe,” katamu.

Ah, untuk urusan segenting patah hati pun kau masih bisa tertawa. Jadi, bagaimana mungkin kami tak akan menjogeti lagu-lagu sedihmu, Lord Didi?

 ?? ALFIAN RIZAL/JAWA POS ??
ALFIAN RIZAL/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia