Senyum Gus Miftah
Ilmu itu tidak diturunkan, apalagi hanya ditentukan faktor nasab. Ketekunan dan kegigihanlah yang menentukan. Tidak lupa restu kiai dan doa orang tua.
AKU hanya bisa merasakan tubuhku lunglai. Mungkin akibat tadi telat makan siang hingga asam lambungku naik, pikirku. “Mbok, minta wedang jahe anget seperti biasa,” pintaku.
“Gelas kecil kan, Den?” tanya Mbok Pinah. “Iya, Mbok,” jawabku singkat. Warung Mbok Pinah memang terkenal di kalangan santri. Ia tak hanya menjual aneka wedang dan gorengan. Di sana juga tersedia nasi kucing dengan pincuk khas daun pisang. Bukan bungkusan kertas seperti di warung kucingan lain.
“Sebenarnya, kalo kamu mau dapetin Gus Miftah tu mudah kok, cukup melobi Bu Nyai Aminah, selesai perkara,” celetuk seorang pria paro baya sembari terus mengepulkan asap rokoknya.
“Dengerin tu omongan Kang Naim. Apa aku bilang? Sampean cukup
sowan Bu Nyai.”
“Tapi aku gak pede Kang sowan,
nembung, Bu Nyai,” sahut Ning Dona, panggilan akrab Ning Romdhonah.
“Lha Gus Miftah tu cesplengnya cuma dingendikani Bu Nyai. Aku pernah lihat sendiri Ning waktu dia dituturi Bu Nyai. Hanya nunduk tanpa nyahut sepatah kata pun,” jawab Ririn alias Rina Muyasaroh.
“Coba kamu selidiki dulu apa alasannya dia gak nikah-nikah, padahal temanteman seumurannya udah beranak tiga. Kalah dia ma aku. Aku sudah berpinak lima,” kata Gus Rizal yang diam-diam iri pada laris manisnya Gus Miftah.
Obrolan itu tak sengaja mampir ke kupingku. Aku memang tidak kenal dekat dengan Ning Dona. Ia terlihat modis. Pakaiannya menjuntai menutupi lekuk tubuhnya yang tinggi berisi itu. Namanya sering dibicarakan para santri. Mungkin karena parasnya yang nggemesi.
Perihal jejaka yang telat nikah sebenarnya bukan barang baru di kampungku. Sudah sering terdengar
laqab kalo pemuda-pemuda di kampungku adalah kumpulan para bujang lapuk. Ada yang bilang itu karena jarak kampungku yang amat terpencil sehingga menyulitkan penduduk bergaul dengan kampung seberang. Banyak pula cerita lain yang sering dihubungkan dengan kabar mistis.
Tetapi soal Gus Miftah memang lain. Nama lengkapnya Miftahus Surur. Putra satu-satunya Kiai Usman itu selain dikenal jago ngaji, secara biologis ia adalah pria yang terhitung matang dan sempurna. Umurnya sekitar 37 tahun. Tak heran, banyak gadis yang rela antre
njagongi pengajiannya. Emak-emak pun tak mau kalah, hanya beda tujuan. Sepertinya mereka berhasrat menjodohkan putri mereka dengan Gus Miftah.
Tak terasa wedang jaheku tinggal seteguk. Aku pun pamit kepada Mbok Pinah, “Bakwan dua, wedang jahe anget satu. Semuanya berapa, Mbok?”
“Lima belas ribu saja, Den”, ujarnya seraya memperbaiki sedekutnya.
Sembari menjulurkan selembar dua puluh ribuan, aku teringat utangku lima ribu kemarin. “Berarti lunas ya Mbok, dengan kemarin.”
“Makasih, Den,” jawab Mbok Pinah. Aku hanya bisa mengingat kata-kata Gus Rizal. Apa benar Gus Miftah menunda nikah karena gosip santer itu. Ah, mana mungkin. Gus Rizal kalo bicara memang suka seenaknya sendiri. Malam sudah semakin larut, tak kuat mataku menahan rasa kantuk. Yang kutahu tiba-tiba punggungku jatuh melekat kuat tertempel di ubin bak Spiderman. Maklum, santri tidur tanpa beralas kasur yang empuk, kelambu, ataupun selimut. Mungkin agar santri berakhlak tawaduk. Membumi, berpantang tinggi hati dan memberhalakan diri, apa pun jadinya kelak.
***
Paginya, selesai menyimak ngaji Tafsir Jalalayn-nya Gus Miftah, seperti biasa aku nganter ibu ke pasar dan setelahnya aku mampir ke warung Mbok Pinah. “Wedang jahe lagi kan, Den?” tanya si mbok.
“Nasi goreng kecap pedas sama kopi tubruk tanpa gula, Mbok,” pintaku.
Mbok Pinah dengan cekatan membersihkan wajannya yang terlihat seperti bekas osrengan pelanggan sebelumnya.
“Gus, sebenarnya Njenengan tu nyari cewek model gimana? Kalo modis dan bahenol ya Ning Dona itu masuk kriteria, Gus. Kalo pengin dapat hafidzoh dan nurutan ya kayak Ning Isti. Kalo uangnya banyak tapi ngambekan ya Ning Fatma. Lha wong tinggal milih kok, Gus.”
“Bener kata Gus Thohar, Sampean tu sudah berumur, nunggu apa lagi? Nanti teman-teman Sampean sudah bawa cucu, Sampean masih nganter sekolah anak,” gojek Gus Rizal.
Suara gelak tawa terdengar riuh. Baru sadar ternyata aku terjebak dalam dialog Gawagis. Semacam asosiasinya para putra kiai di kampungku. Aku sengaja meletakkan cangkir kopiku di ujung siku sebagai penghambat keakraban. Gasakan demi gasakan bersahutan, beradu di antara bunyi teko air panas yang dituang ke dalam secangkir kopi.
Gawagis pun tertawa riang, seakan puas nggasaki Gus Miftah. Sementara kulihat Gus Miftah hanya senyum ala kadarnya. Mungkin baginya senyum adalah bentuk pertahanan dan perlindungan terakhir. Sebaliknya, bagi mereka, cekikikan sebagai simbol kemenangan semu. Karena mereka juga harus berdamai dengan realitas hidup sehari-hari yang tak jarang menyudutkan mereka.
Aku jadi ingat, pernah dengar kabar kalo Gus Miftah punya daya linuwih. Ia dikenal gampang hafal. Semacam laduni. Dapat ilmu dadakan tanpa harus capek-capek ikhtiar. Minimal bukan hanya Kang Burhan yang cerita. Kalo opini Kang Burhan bisa jadi subjektif, menurutku. Karena dia abdi dalemnya Kiai Usman dan terhitung sering ditraktir Gus Miftah. Namun, banyak penduduk kampung yang terkagum dengan kaweruh Gus Miftah yang terhitung tidak lumrah.
Aku memang pernah dengar
slenthingan dari Ning Isti kalo tiap sebelum subuh Gus Miftah selalu nglalar hafalan-hafalannya. Laku itu rutin ia lakukan sampai jelang ngajar tafsir. Lalu ia teruskan dengan mengontrol bisnis ritelnya. Setelah itu ia lanjutkan nderes kitab-kitab kuning koleksinya.
Bila diturut, sebenarnya maklum kalo orang serajin dia bisa secerdas itu. Namun, orang yang tidak tahu prosesnya pasti mengira Gus Miftah punya rapalan laduni.
Aku pernah melihat koleksi buku-buku dan kitab-kitabnya saat diajak almarhum bapak sowan Kiai Usman. Mirip perpustakaan, menurutku. Berderet rapi sesuai klasifikasinya. Terekam kuat dalam memoriku betapa mereka berdua terlihat sangat akrab. Malah kalo kuingat-ingat lagi, garis wajah bapak ada miripnya dengan Kiai Usman. Agak kearab-araban. Itu saja kenanganku.
***
Gus Miftah meninggal dunia. Kabar ini kudapat dari Gus Rizal. Innalillahi
wainna ilaihi raji’un. Awalnya aku sempat tak percaya. Mungkin ini gara-gara Gus Rizal telanjur iri sama dia. Namun, setelah membuktikan saat takziah, tubuhku berturut ikut kaku. Tersirap darahku. Jiwaku mendadak beku. Membatu bagai manekin. Apalagi saat mendengar lantunan suara Yasin dan tahlil berjamaah. Agak lama hatiku teraduk. Napasku menderu layaknya kerbau menarik pedati di terik mentari. Akalku pun tersungkur. Aku harus memberi kabar emak, demikian tekadku.
Teramat sering ia menceritakan kepadaku agar aku niru Gus Miftah. Kalo wajah apa mau dikata, sudah takdir. Minimal meniru laku dan ilmunya. Itulah kata-katanya yang sering menampar telingaku.
Sembari menyusuri lekuk jalan, aku mulai trenyuh. Gus Miftah yang berkarisma sudah dipocong. Perawakannya yang bikin perawan dan emak-emak kesengsem telah lunas dimandikan. Nafsunya yang tenang dan meneduhkan disalati. Kaweruh laduninya terkubur bersama tubuhnya.
Tak ada penduduk yang tidak melinangkan air mata. Mungkin juga karena bingung siapa penerus Kiai Usman. Atau bisa jadi gara-gara kehilangan asa karena anak gadisnya tidak jadi bersanding dengan Gus Miftah. Pondok sebesar dan seluas itu seolah teronggok muspra tanpa kehadiran Gus Miftah.
Tapi bukankah masih ada Gus Rizal? Selain terhitung adik sepupu, ia juga pernah dipondokkan tujuh tahun di Pondok Keramat yang masyhur karena ilmu alat (gramatika) dan ushul fiqihnya. Ah, tapi bisa apa dia. Setelah boyongan bukannya mbalah kitab. Saban hari malah cuma nongkrong di warung Mbok Pinah.
Aku pernah dengar wejangan Kiai Usman bahwa ilmu itu tidak diturunkan, apalagi hanya ditentukan faktor nasab. Ketekunan dan kegigihanlah yang menentukan. Tidak lupa restu kiai dan doa orang tua.
“Mak, nyuwun diikhlaskan segala kesalahan Miftah,” pinta Nyai Usman.
“Injih, Njenengan juga yang sabar ya Jeng, diikhlaskan,” sahut emakku. Keduanya berpelukan erat. Tak terasa air mataku menetes. Aku sendiri pun bingung kenapa ikut-ikutan nangis seperti mereka. Seingatku, aku baru lihat mereka sekarib itu. Layaknya saudara tua yang lama tak bersua.
Setelah pamitan pulang, emak membisikiku dengan suara parau. “Miftah itu paklikmu. Waktu Bu Nyai dikabarkan mengandung, Kiai Usman langsung gelar tasyakuran. Seisi kampung diundang, tak terkecuali. Yang ditugasi mimpin doa justru bapakmu.” Bagai tersambar petir. Kaget bukan kepalang aku mendengar tausiah emak.
Dalam perjalanan pulang, pikiranku melayang. Yang jelas ia mati muda. Ia juga dikenal gak mau merepotkan orang lain. Aku jadi ingat gosip santer penduduk kampung kalo Gus Miftah punya linuwih lain yang unik. Ngerti sakdurunge
winarah. Apa gara-gara itu ia keburu mati muda belum menikah? Jangan-jangan dia gak mau merepotkan istrinya nanti kalo ditinggal mati dalam usia muda.
Ah, mana mungkin, soalnya aku pernah lihat sendiri saat Ning Fatma malammalam turun dari mobilnya Gus Miftah. Awalnya aku gak ngeh kalo perempuan itu Ning Fatma. Tapi, setelah turun di depan ndalemnya dan disambut Kiai Jakfar sendiri, aku makin yakin kalo mereka sebenarnya ada hubungan. Yang jelas bukan pertemanan biasa.
Entah kenapa gosip santer pertunangan mereka lenyap seiring Kiai Usman yang sakit-sakitan dan berujung wafat. Bisa jadi karena beratnya beban sosial dan moral yang dipikul sendirian oleh Gus Miftah. Hingga ia harus menepikan egonya demi melanjutkan estafet pondok dan meneruskan pengajian Kiai Usman.
Atau mungkin ia berangan ingin seperti Imam Nawawi ad-Dimasyqi, Ibn Jarir ath-Thabari, Imam Zamakhsyari, atau sejarawan adz-Dzahabi yang betah menjomblo karena kemasygulannya terhadap ilmu? Ah, itu kan dugaanku saja. Yang jelas ia orang yang alim dan saleh. Minimal itu dibuktikan dengan senyumnya saat membujur kaku. Isyarat kelegaan ruh bercerai dengan jasad. Setidaknya itu menurutku, bagaimana menurutmu?