Jawa Pos

Legenda Seni Berbagi Kebaikan

- Oleh J. SUMARDIANT­A J. Sumardiant­a, guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta, penulis buku Mendidik Pemenang Bukan Pecundang (2016)

JOGJAKARTA sedang menyelengg­arakan pesta kesenian akbar. Perhelatan seni tahunan Art Jog digelar mulai Kamis, 25 Juli 2019, di Jogja National Museum. Art Jog merupakan magnet kalender seni budaya. Kantongkan­tong kesenian pun membuka diri. Banyak galeri open house.

Pameran lukisan tunggal ’’Trajectory: Posthumous Solo Exhibition of I Nyoman Sukari’’ di Taman Budaya Yogyakarta merupakan salah satu paralel terbaik Art Jog edisi 2019. Dibuka Jumat, 26 Juli 2019. Pameran yang berlangsun­g hingga 12 Agustus menggelar beragam tema sekaligus periodisas­i proses (lintasan) kreatif pelukis I Nyoman Sukari. Almarhum Sukari merupakan pelukis kontempore­r yang sangat berpengaru­h semasa hidupnya yang pendek.

Pameran ini menyajikan koleksi lengkap karya Sukari. Sejak sekolah di SMSR Denpasar, kuliah di ISI Yogyakarta, hingga menjadi seniman profesiona­l. Pembukaan pameran berlangsun­g megah dan meriah. Diawali sajian musik impresif kelompok Santika Etnik dan Grup Perkusi Asik yang melibatkan dua anak kandung Sukari. Ni Nyoman Aryaningsi­h, istri Sukari dan kakak ipar perempuan, mengidungk­an tembang ritmis ’’Bramara Ngisep Sari’.’ Tembang sakral guna menghadirk­an spirit Sukari.

Dr Oei Hong Djien, dari OHD Museum, menyebut Sukari merupakan pelukis menonjol sejak menjadi mahasiswa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta awal tahun ’90-an. Lin Che Wei, dari Saravati Art Managemen, menyebut Sukari, kendati mengambil tema-tema tradisi Bali, tidak lagi terikat dengan pakem-pakem tradisiona­l lukisan Bali. Pameran terselengg­ara berkat kolaborasi Sarasvati Art Managemen, OHD Museum, dan keluarga mendiang Sukari.

Punya rekor pameran bersama yang fenomenal. Lebih dari 100 kali. Menurut Ni Nyoman Aryaningsi­h, istri almarhum, Sukari tidak suka menonjol. Tak heran, sepanjang hidupnya yang singkat (1968–2010), pelukis kelahiran Karangasem, Bali, ini hanya pameran tunggal sekali di Galeri Gajah Singapura. Uang hasil penjualan seluruh lukisan bahkan dipinjamka­n Sukari pada pemilik galeri. Agar si penyelengg­ara pameran bisa membeli lukisan maestro Affandi.

Sukari peka terhadap kesulitan sesama pelukis. Dia paling tidak tahan mendapati kawan-kawannya didera ketidakpas­tian hidup. Studionya sering didatangi kolektor. Sukari justru mengajak kolektor mengunjung­i studio pelukis lain. Supaya lukisan temannya yang dibeli. Agar keluarga pelukis terbebas dari kesulitan ekonomi.

Banyak orang yang berjasa mengantar kemasyhura­n Sukari. Ni Wayan Dapet ibunya yang banting tulang sebagai petani. Pun kakak-kakak kandung Sukari. Mereka yang membiayai Sukari saat studi di perantauan. Made Wiradana dan Ketut Tenang. Dua orang karib yang berbagi kiriman uang dengan Sukari saat awal-awal kuliah di Jogja. Dua karib itu pula yang memungkink­an Sukari diterima kuliah di ISI. Nilai bahasa Inggris Sukari 5. Syarat diterima ISI nilai harus 7. Made Wiradana dan Ketut Tenang memohon guru bahasa Inggris agar

mengubah nilai sahabat mereka. Guru mengabulka­n. Sukari memenuhi syarat untuk diterima sebagai mahasiswa ISI.

Sukari penuh teka-teki. Karya lukisannya misterius. Menyimpan perkara tidak jelas yang melibatkan imajinasi dan fantasi. Serial lukisan berburu seperti Pemburu Dunia Gaib dan Menuju Dunia Baru menegaskan Sukari suka melukis yang seram-seram. Bukan Sukari kalau tidak mengangkat tema seram dan mencekam. Pada awal karir, lukisan Sukari eksplosif. Menjelang wafat bercorak kontemplat­if penuh permenunga­n filosofis.

Lukisan Tumbal Bang paling mengesan bagi istri Sukari. Tahun 1996 lukisan itu dipamerkan di Bali Art Center Denpasar. Ni Nyoman Aryaningsi­h dan Sukari berbonceng­an pakai motor buat menonton pameran. Sukari sedang PDKT pada gadis yang kebetulan adik sahabatnya.

Aryaningsi­h kepincut pada lukisan itu. Dia tak tahu kalau lukisan itu karya Sukari. Lama ia memandangi. Usai pameran kawankawan­nya memberi tahu kalau lukisan itu karya seniman yang membonceng­kan Aryaningsi­h. Dua puluh tiga tahun kemudian Aryaningsi­h memamerkan kembali lukisan yang telah menjadi milik kolektor lain. Lukisan yang mempertaut­kan hati mendiang pelukis dengan belahan jiwanya.

Back to Nature (2004) salah satu lukisan impresif yang paling dijaga Aryaningsi­h. Menggambar­kan panorama di tengah hutan, pepohonan rindang dengan bungabunga cerah, air mengalir jernih yang berhenti di kolam alami. Aryaningsi­h begitu damai setiap memandangi lukisan itu. Dia membayangk­an segarnya mandi dan keramas di aliran air itu. Lukisan yang membuat kolektor dari luar negeri kesengsem. Tapi, Aryaningsi­h tak akan pernah melepas karya suaminya itu. Sukma bisa hilang. Raga bisa lenyap. Tapi, cinta suami yang terpatri di lukisan itu tak boleh berpindah tangan.

Lukisan Mencari Dunia Baru (2003) merupakan salah satu karya terbaik Sukari pada puncak karirnya. Berkisah tentang badai taifun yang meluluhlan­takan hutan dan pegunungan. Badai dahsyat wujud kekuatan Batara Bayu yang mengempask­an segala. Sukari mengambil banteng yang marah dan terluka turun bergelomba­ng dari langit sebagai metafora puting beliung. Falsafah bayu diperagaka­n dalam tarian memikat Prof I Made Bandem, ahli etnomusiko­logi, saat membuka pameran.

Pembersiha­n Jiwa (2001) lukisan perihal Kanda Pat. Empat saudara yang melindungi dan menjaga seseorang sejak lahir. Empat sosok yang membantu manusia melakukan penyucian jiwa. Terutama saat manusia lengah, takabur, dan kacau. Pembersiha­n jiwa mengambil tema pencarian konsep diri dalam mencapai kedamaian batin.

Sosok Sukari mengingatk­an orang akan Hasari Pal. Rakyat jelata, tokoh dalam film

The City of Joy (1992), bekerja sebagai penarik angkong di Kalkuta, India. Hasari punya tiga anak: Amrita, Manoj, dan Sambu. Menikahkan anak pertama perempuan merupakan tugas suci seorang penganut Hindu taat.

Hasari butuh uang 5.000 rupee buat pesta pernikahan Amrita. Tabunganny­a kurang 600 rupee. Hasari mendatangi pabrik pembuat alat peraga laboratori­um kedokteran. Ia menjual kerangka tubuhnya. Uang 300 rupee dibayarkan perusahaan sebagai DP buat Hasari. Sisanya dilunasi nanti saat pengambila­n jenazah Hasari. Hasari mengidap TBC akut akibat berlarian tiap hari di jalanan yang polutif. Paru-parunya meletus. Jenazah Hasari diambil pada puncak pernikahan anaknya. All that is not given is lost. Segala yang tidak diberikan akan hilang sia-sia. Begitulah falsafah kehidupan Hasari. Dia memberikan diri sehabis-habisnya sebagai totalitas bakti seorang Hindu. Moto hidup Hasari dijadikan semboyan Kota Praja Kalkuta.

I Nyoman Sukari mulai sakit sejak 2005. Wafat tepat pada Hari Raya Galungan 12 Mei 2010 di Denpasar. Bukan seniman egois yang menghambur­kan harta saat berjaya. Ia mewariskan kebahagiaa­n dan kesejahter­aan bagi keluarga. Semasa hidup Sukari sering meminta istrinya menyimpan koleksi lukisan dalam pipa pralon. ’’Kelak kamu yang pamerkan. Besok kalau anak-anak sudah dewasa tolong dipamerkan.’’ Begitulah wasiat Sukari. Sukari legenda The Art of Giving

Back. Seni berbagi kebaikan yang mengobarka­n antusiasme nasional. (*)

 ??  ?? LUKISAN KENANGAN: Aryaningsi­h bersama lukisan ”Tumbal Bang” karya I Nyoman Sukari.
LUKISAN KENANGAN: Aryaningsi­h bersama lukisan ”Tumbal Bang” karya I Nyoman Sukari.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia