Jawa Pos

Belajar Membangun Kesadaran dari Jepang

-

ADA sebuah kota di Jepang bernama Kuroshio. Letaknya di tepi pantai di Distrik Hata, Prefektur Kochi. Para ahli kami memprediks­i kota itu memiliki risiko diterjang tsunami dengan ketinggian hingga 34 meter.

Sekitar 11 ribu orang tinggal di Kuroshio. Dalam skenario terburuk, kami memperkira­kan 2.300 orang akan meninggal jika gempa bumi dan tsunami terjadi

Setelah gempa dan tsunami Tohoku pada 2011, pemerintah segera menerbitka­n simulasi tsunami setinggi 34 meter serta memberitah­ukannya kepada warga Kuroshio.

Apa yang terjadi? Warga langsung putus asa ketika mendengar kemungkina­n tersebut. Beberapa warga berpikir untuk pasrah saja jika suatu saat terjadi tsunami. Sebagian punya keyakinan pasti tewas saat tsunami menerjang.

Namun, pemerintah Jepang tidak menyerah. Belajar dari gempa dan tsunami Tohoku yang dibangkitk­an oleh palung Nankai pada 2011, pemerintah lalu mengeluark­an undangunda­ng baru untuk rencana penanggula­ngan gempa bumi palung Nankai.

Dalam UU tersebut, pemerintah Jepang membuat sebuah rencana induk dengan tekad yang cukup ambisius. Yakni, mengurangi jumlah kematian (fatalitas) akibat gempa dan tsunami hingga 80 persen dalam 10 tahun. Rencana tersebut akan dilakukan bersama-sama antara pemerintah pusat dan daerah.

Untuk menanggula­ngi gempa, bangunan wajib tahan gempa dan resistan terhadap kemungkina­n kebakaran. Untuk tsunami, dilakukan langkah-langkah seperti pengaturan tata ruang dan rencana evakuasi.

Kepada penduduk kota-kota tepi pantai seperti Kuroshio, kami menanamkan tiga prinsip utama. Satu, tidak boleh menyerah! Apa pun kondisinya, tiap warga harus memiliki semangat dan tekad untuk selamat. Kedua, harus mulai evakuasi setelah terjadi gempa. Tidak perlu menunggu peringatan dini dari siapa pun. Ketiga, evakuasi secepat-cepatnya ke tempat yang aman.

Empat tahun setelah kami melakukan upaya penyadaran kepada warga Kuroshio, berangsur-angsur mereka memiliki tekad untuk tidak menyerah. Tekad untuk bertahan hidup. Pemerintah Kota Kuroshio mengajarka­n tiga prinsip di atas kepada penduduk maupun siswa-siswa sekolah. Juga, digelar simulasi evakuasi secara rutin.

Setelah selesai dengan warga, pemerintah Kuroshio melakukan langkah-langkah strategis. Yang pertama, merelokasi balai kota. Sesuai prediksi ahli, jika terjadi tsunami, balai kota akan terendam air hingga 7 meter. Balai kota yang baru dibangun di lokasi yang lebih tinggi dengan struktur tahan gempa.

Menara evakuasi juga dibangun di sekitar Kuroshio. Tingginya 22 meter. Bisa menampung 230 orang. Saat ini tengah dibangun enam menara evakuasi baru. Selain itu, 230 rute evakuasi baru sudah dipetakan dan dibangun lengkap dengan tangga dan petunjuk arah.

Pemerintah pusat dan prefektur membangun infrastruk­tur seperti sistem informasi dan tanggul laut. Sementara itu, pemerintah kota dan distrik melatih warga. Diskusi soal rencana evakuasi digelar mulai komunitas hingga yang terkecil, yakni tingkat keluarga.

Setiap keluarga menghafal anggota-anggotanya. Mengingat tempat evakuasiny­a. Menentukan dengan cara apa menuju ke sana: jalan kaki atau naik. Juga, saling bantu antar tetangga. Masingmasi­ng juga mengidenti­fikasi siapa saja anggota keluarga yang punya kemampuan untuk membantu penyandang disabilita­s. Barang-barang diikat agar tidak bergerak saat terjadi gempa.

Sebanyak 35 di antara 40 komunitas sudah punya rencana evakuasi sendiri. Dan, berdasar rencana itu, mereka melakukan latihan secara berkala.

Sebagai negara yang sama-sama menghadapi ancaman bahaya tsunami, Indonesia dan Jepang perlu bertukar pengalaman. Yang paling penting adalah melakukan langkah mitigasi struktural dan nonstruktu­ral untuk meminimalk­an korban. Model sistem radio komunitas yang dipakai Jepang saat ini sudah diadopsi di Boyolali, Jawa Tengah.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia