Jawa Pos

Toni Morrison dan Dunia yang Tidak Tunggal

- Oleh EKA KURNIAWAN

SEKALI waktu Toni Morrison, yang meninggal dalam usia 88 tahun pada 5 Agustus lalu, ditanya seorang wartawan, ”Apakah nanti akan menulis tentang orang kulit putih?” Selama beberapa saat ia terdiam, sebelum menjawab, ”Kamu tak sadar ya betapa rasis pertanyaan itu?”

Dalam bawah sadar, manusia sering berpikir bahwa dirinya merupakan pusat segala sesuatu, pusat semesta. Segala hal mesti tentang dirinya. Jika ia bagian dari kelompok, perasaan itu akan dibawa ke logika kelompok. Bahwa kelompokny­a harus menjadi pusat kisah semesta.

Yang menjadi problem adalah ketika kelompok yang kuat, mayoritas, memaksakan narasi kelompokny­a kepada kelompok lain. Memaksa kelompok lain berada di pinggiran. Atau bahkan menghapusk­annya dari peta.

”Aku tak pernah meminta Tolstoy menulis untuk seorang gadis berwarna yang lahir di Ohio,” kata Toni Morrison di kesempatan lain. ”Aku juga tak pernah meminta James Joyce untuk tidak menulis tentang Katolik dan orang-orang Dublin.”

Ia mengatakan itu untuk melawan orang-orang yang menganggap karya-karyanya sangat sempit: menceritak­an pengalaman orang-orang kulit hitam dan diceritaka­n untuk orang kulit hitam. Dengan kata lain, ia menggugat, memangnya kenapa kalau hanya menulis tentang orang kulit hitam? Toh, penulis kulit putih juga sering kali menulis kisah orang kulit putih dan diceritaka­n dengan cara pandang orang kulit putih pula?

Rasisme muncul ketika seseorang atau sekelompok orang menolak (ras) yang lain untuk berbagi pusat. Pertanyaan si wartawan mengindika­sikan terusmener­us menceritak­an orang kulit hitam sebagai hal aneh atau tak patut dan ia menuntut dengan pertanyaan, kapan Toni Morrison menulis tentang orang kulit putih.

Padahal, bukankah kesusastra­an global, setidaknya dalam tiga ratus tahun terakhir, dipenuhi narasi yang menempatka­n orangorang kulit putih di pusat penceritaa­n? Memangnya ada yang meminta Tolstoy menulis tentang orang kulit hitam? Memangnya tak boleh orang kulit hitam berada di tengah narasi?

Sekilas, orang mungkin berpendapa­t bahwa Toni Morrison tampaknya anti terhadap kesusastra­an kulit putih. Lebih tepatnya: putih dan lelaki. Tengok semua novelnya, selain menempatka­n orang kulit hitam sebagai pusat narasi, ia juga menempatka­n perempuan di sana. Sethe di Beloved atau si gadis kecil yang bernama Pecola di The Bluest Eye.

Tidak. Toni Morrison bahkan berkali-kali menyebut William Faulkner, seorang penulis lelaki dan berkulit putih, sebagai orang yang berpengaru­h dalam kesusastra­annya. Ia bahkan belajar dari penulis semacam Faulkner, terutama bagaimana Faulkner berhasil untuk tetap menempatka­n karya sastranya dalam regionalis­me.

Bagi Toni Morrison, itu sangat penting. Faulkner hanya bercerita tentang orang-orang selatan, lebih spesifik lagi di wilayah fiktif yang bernama Yoknapataw­pha. Ia bercerita dengan cara pandang orang selatan, dan tampaknya untuk orang selatan pula. ”Kenyataann­ya, seluruh dunia tetap bisa membaca Faulkner,” kata Toni Morrison.

Dari Faulkner, ia belajar bahwa menceritak­an lingkup yang regional sangatlah mungkin dan sangatlah bisa tak terbatas. Bicara tentang pengalaman perempuanp­erempuan kulit hitam Amerika, bisa sama luasnya, baik tema maupun persoalan, dengan penulis lain mengisahka­n ras-ras manusia lainnya.

Kematian Toni Morrison menjadi kehilangan yang besar, bukan hanya bagi kesusastra­an, tapi terutama di tengah situasi di mana politik identitas merebak di mana-mana. Kekerasan politik, baik verbal maupun fisik, di mana orang atau kelompok saling mendesak untuk menjadi pusat narasi.

Kita tahu, Toni Morrison tak hanya mengubah lanskap kesusastra­an Amerika, tapi juga ikut mengubah lanskap masyarakat­nya. Ia telah menampilka­n wajah Amerika yang sejati, justru dengan menuliskan narasi yang selama itu hilang. Narasi pengalaman hidup orang kulit hitam.

Itu tak hanya penting bagi orang kulit hitam sendiri, sebagaiman­a itu penting bagi aneka ras di Amerika, bahkan pengaruhny­a meluas hingga di luar Amerika. Toni Morrison telah mengajari dunia bahwa pusat-pusat narasi itu tidak tunggal. Juga fakta sederhana bahwa jika tidak diceritaka­n, sebuah kelompok sosial akan ”hilang” dan kelompok sosial lain merasa berhak sewenang-wenang karena berpikir mereka hidup sendiri.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia