Jawa Pos

Kata Ganjar, Itu Bukti Rorokenes Layak Ekspor

- SHABRINA PARAMACITR­A, Jakarta, Jawa Pos

Tas-tas produk Syanaz Nadya Winanto Putri dituding petugas bandara Rusia terbuat dari kulit buaya yang harganya mahal. Padahal, semua sampel produk untuk keperluan pameran itu terbuat dari kulit kambing dan sapi. Tapi, dari insiden tersebut, dia justru bisa membuka koneksi dengan pembeli potensial.

SYANAZ Nadya Winanto Putri sedang harap-harap cemas. Senin lalu (5/8) adalah hari pertama tas Rorokenes dinilai (dikurasi) pihak Bea dan Cukai Rusia. Proses kurasi

itu memakan waktu hingga 24 hari.

Semua berawal dari kedatangan Syanaz di Bandara Domodedovo, Moskow, pekan lalu (1/8)

Syanaz yang datang bersama rombongan pengusaha binaan Bank Indonesia (BI) Jawa Tengah menghadapi masalah di bandara. Syanaz yang saat itu membawa koper dan tas besar hendak keluar dari bandara. Namun, pada saat hendak keluar, Syanaz ditahan pihak imigrasi.

Syanaz tiba-tiba disuruh mengeluark­an isi koper. Ketika itu dia membawa 10 tas kulit anyaman untuk pameran dan 50 tas berbahan karung goni untuk goodybag

pengunjung pameran.

Tas-tas tersebut rencananya dia pamerkan dalam Festival Indonesia Moscow yang berlangsun­g hingga Minggu (4/8). Acara itu diikuti sejumlah pengusaha kreatif dari Indonesia untuk memamerkan karyanya sekaligus memperluas pasar produk ke Rusia.

Tas-tas yang dibawa Syanaz dicurigai pihak imigrasi di Moskow. Dia ditanyai dari mana tas itu berasal, terbuat dari apa, dan sejumlah pertanyaan lain. ”Saya bilang itu tas sampel untuk pameran yang nanti saya bawa pulang ke Indonesia. Bukan untuk dijual langsung di Rusia saat itu juga. Saya juga bilang itu tas dari kulit kambing dan sapi, saya buat sendiri.”

Karena tak ada petugas imigrasi di bandara yang percaya, Syanaz lantas dibawa ke ruang khusus dan diinteroga­si. Ada 15 petugas yang keluar masuk ruangan saat itu. Petugaspet­ugas tersebut mencurigai tas-tas yang dibawa Syanaz adalah produk premium.

Mereka menduga tas-tas itu terbuat dari kulit buaya yang harganya sangat mahal. ”Mereka bilang tas-tas saya itu sekelas Louis Vuitton, Bottega Veneta, yang harganya puluhan juta,” ujar Syanaz. Padahal, tas-tas kulit buatan Rorokenes dihargai Rp 500 ribu sampai Rp 2 juta untuk yang bermotif polos dan Rp 1,5 juta sampai Rp 3 juta untuk yang bermotif anyaman.

Syanaz pun kaget. Dia dituduh memalsukan nilai barang yang dibawa ke Rusia. Petugaspet­ugas itu menuduh Syanaz berbohong karena membawa barang premium, tetapi tidak di-declare ke pemerintah setempat.

Padahal, Syanaz sudah membawa suratsurat yang lengkap. Paspor, bukti visa, surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Moskow, packing list

yang berisi daftar harga barang, surat izin dari Pemkot Semarang, company profile

Rorokenes, dan surat keterangan dari Ditjen Bea dan Cukai di Indonesia sudah dibawanya.

Syanaz pun protes. Dia tak terima. Saat mengikuti pameran di Slovenia, Tiongkok, dan Austria, surat-surat tersebut selalu menjadi senjata ampuh buatnya. Tak pernah ada interogasi seperti itu.

Yang bikin stres lagi, para petugas di bandara tersebut mengaku tidak bisa berbahasa Inggris ketika Syanaz bertanya kesalahan apa yang dilakukann­ya. Padahal, selama hampir enam jam interogasi, petugas-petugas itu selalu bertanya dalam bahasa Inggris kepada Syanaz. Mereka juga tampak mengerti ketika Syanaz menjelaska­n dalam bahasa Inggris.

Karena sudah sangat tertekan, Syanaz pun menyerah. Sudah perjalanan dari Indonesia memakan waktu hampir 24 jam, berjam-jam dia diinteroga­si dan dituduh yang tidak-tidak pula.

Selama berjam-jam itu, Syanaz ditunggui di luar ruangan oleh rekan-rekannya sesama rombongan dari BI Jateng. Akhirnya, seorang volunter masuk ke ruangan, membantu Syanaz menjelaska­n dan bernegosia­si dengan para petugas itu dalam bahasa Rusia. Volunter itu adalah Sandi Saputra, mahasiswa asal Indonesia yang menempuh S-2 di Northern (Arctic) Federal University di Rusia.

Setelah ada negosiasi, Syanaz akhirnya diperboleh­kan keluar. Namun, tas-tasnya miliknya ditahan. Tas-tas itulah yang saat ini sedang dikurasi selama 24 hari oleh Bea dan Cukai Rusia.

”Lelaaaaahh­h banget, tapi alhamdulil­lah, lega. Saya tuh awalnya sudah takut banget dipenjara di Rusia dan dituduh menyelundu­pkan barang,” ujarnya. Aksen Jawa Tengah-nya terdengar sangat kental.

Akhirnya, Syanaz diperboleh­kan pergi ke hotel bersama rombongan. Beruntung, dia masih punya sepuluh tas berbahan karung goni yang dibawanya lewat bagasi pesawat. Hanya itu yang akhirnya bisa dia pamerkan. Plus, satu tas punggung Rorokenes miliknya yang dipakainya sendiri.

Sebelum berangkat ke pameran yang berlokasi di Taman Krasnaya Presnya, Moskow, Syanaz terus menangis di hotel. Dia merasa itu titik terendah dalam hidupnya. ”Saya down banget,” katanya.

Dia pun menelepon ibu, suami, dan sahabatnya di Indonesia. Kekuatan dari Tuhan pun dia rasakan lewat dukungan dari orang-orang kesayangan­nya itu.

Tapi, the show must go on. Syanaz tetap ikut pameran. Meski hanya memamerkan tas dari karung goni, bukan tas dari kulit, Syanaz tetap berusaha ceria.

Dia ceritakan kisahnya itu kepada para pengunjung pameran. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo adalah salah seorang pengunjung yang sempat mendengark­an kisah Syanaz. ”Kualitas Rorokenes sudah dianggap premium, berarti layak ekspor dengan harga yang kompetitif juga. Semoga tahun depan sudah bisa menyaingi tas branded yang puluhan juta,” puji Ganjar.

Untung, meski tak memamerkan tas kulit yang menjadi produk utama Rorokenes, Syanaz mendapat sambutan yang baik. Dari pameran itu, dia bisa membuka koneksi dengan potential buyer dari e-commerce Rusia dan pengusaha-pengusaha internasio­nal lainnya.

Animo pasar di Eropa rupanya cukup besar. ”Mbak Syanaz ini pengusaha yang memang sekarang sudah bukan usaha mikro-kecil lagi, tapi sudah lebih besar dari itu. Memang layak juga produknya tembus pasar internasio­nal,” ungkap Kepala Kantor Perwakilan BI Jateng Soekowardo­jo.

Syanaz merasa kejadian di bandara dan ditahannya tas-tas Rorokenes di Rusia justru menjadi tes pasar secara tidak langsung. Tasnya disangka berkualita­s tinggi, dan dia pun berhasil membuka peluang untuk ekspansi pasar ke Rusia.

Kejadian itu membuat Syanaz semakin yakin atas jalan hidupnya. Dia tak pernah menyesal memutuskan menjadi pengusaha saat usianya 39 tahun pada 2014.

Saat itu Syanaz minta dibelikan tas Bottega Veneta kepada suaminya, Agung Nugroho. Harganya Rp 30 jutaan. Mahal untuk ukuran kantong Syanaz saat itu. ”Ha? Bottega? Tega lu! Gitu kata suami saya dulu waktu saya minta tas, hahaha,” kelakar Syanaz.

Gagal dapat tas mewah, Syanaz pun curhat ke ayahnya, Djoko Moerwinant­o. Ayahnya lantas menantang Syanaz untuk bikin tas sendiri. Kenapa tidak? Pikir Syanaz ketika itu. Lagi pula, sudah tujuh tahun dia menjadi ibu rumah tangga. Sebelumnya dia meninggalk­an karirnya pada 2007 sebagai banker di Citigroup. Itu dilakukan agar dia bisa fokus merawat anaknya yang berkebutuh­an khusus alias ABK.

Anak pertama Syanaz adalah anak yang sangat cerdas, tapi memiliki hambatan perkembang­an karena ketidaksel­arasan (gifted disinkroni).

Sementara anak kedua Syanaz mempunyai kesulitan membaca dan menulis (mild dyslexia).

Mendapat semangat dari ayahnya, Syanaz pun belajar bikin tas. Selama delapan bulan, dia browsing cara memotong kulit, membuat pola, menganyam, dan hal-hal lainnya seputar produksi tas. Nama Rorokenes dipakainya sebagai merek produk. Rorokenes berarti putri yang tangguh, cekatan, dan lincah tapi lemah lembut. Syanaz terinspira­si dari sang ibu, Wiene Djoko Murwienant­o, yang menilai Syanaz sebagai putri yang tangguh.

 ?? PEMPROV JATENG FOR JAWA POS ?? CURHAT: Syanaz (kiri) menceritak­an kendala yang dialaminya di Bandara Demodedovo Moskow kepada Ganjar Pranowo di sela-sela Festival Indonesia Moscow pekan lalu.
PEMPROV JATENG FOR JAWA POS CURHAT: Syanaz (kiri) menceritak­an kendala yang dialaminya di Bandara Demodedovo Moskow kepada Ganjar Pranowo di sela-sela Festival Indonesia Moscow pekan lalu.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia