Pentas Kawasan dan Kenyataan yang Menghubungkan
SEORANG pelukis-patriotik bernama Sudarto dalam roman Kintamani karya Imam Supardi (1932) terharu melihat tamasya alam Indonesia: Coba itu, itu di sana, pulau yang cantik dan molek, pending mutiara bertakhtakan ratna mutu manikam, sawah ladang di atas lereng berleret-leret, berkotak-kotak, beraneka rupa, bagaikan selendang tenunan pelangi, terbentang di bumi pertakhta-sari.
Melalui percakapan di atas, Indonesia sebagai lanskap masih dilihat sebatas yang eksotis dan jelita, sebagai gugusan alam permai, seperti dalam lukisan-lukisan Hindia Molek. Lalu, kemudian pertanyaannya, apakah alam Indonesia bisa ditelusuri lebih jauh, tak sebatas panorama rupa.
Pada 2004 koreografer Min Tanaka memutuskan melancong sendirian ke beberapa pulau di Indonesia dalam sebuah proyek yang disebut dengan ”Body Weather” atau ”Tubuh Cuaca”. Dia memasuki ruang-ruang keseharian masyarakat pedesaan dan terlibat secara aktif dengan kehidupan agrikultural warga setempat. Menanam padi di sawah, menanam sayuran di kebun, untuk mengalami lingkungan alam sebagai apa yang disebutnya ”jiwa universal tari”, bahwa tubuh dan alam sama-sama tumbuh. Entah pada gersang setelah musim panen atau tanah becek berlumpur di musim hujan.
Melaluinya, alam Indonesia mulai dibaca sebagai sesuatu yang juga menubuh dengan penghuni ruangnya, bukan sebatas lukisan yang dipajang di dinding rumah. Alam menjadi praktik yang dialami dan ditubuhkan, bukan lagi imaji yang jauh dan berjarak.
Pada percakapan ”Curatorial Framework” oleh para kurator ”Asian Playwright Meeting 2019” (26–29 Juli 2019), di Lembaga Indonesia Prancis/IFI Yogyakarta, yaitu Gunawan Maryanto, Joned Suryatmoko, Muhammad Abe, Alfian Sa’at, dan Shinta Febriany, alam kemudian diperbesar menjadi tak hanya tentang dunia dan organ tubuh manusia dalam lingkungannya. Alam juga mengenai ladang sejarah, pertempuran, konflik, dan benturan yang terus bergerak, bercakap tanpa pernah selesai.
Kata kunci kuratorial, State of Crisis, menggulirkan bola domino yang bergerak di antara negara-negara Asia dan Asia Tenggara dalam sebuah kerangka antarbangsa dengan segenap krisis yang mengitari/mengancamnya. Ridhwan Saidi –salah seorang penulis naskah terundang dari Malaysia– memberikan kata kunci ”Cuaca sebagai Bahasa”. Bagi dia, negaranegara yang dilintasi garis khatulistiwa memiliki sejumlah pengalaman naratif dan trauma politik yang saling bertukar tangkap. Kekuasaan sensor yang hadir dalam naskah drama.
Mautopia dari Ridhwan Saidi menunjukkan bahwa satu per satu kata dihilangkan dari peradaban. Itu untuk mencegah pembangkangan terhadap otoritas pemerintah, yang disimbolkan sebagai ”guru-besar”. Kuasa bahasa juga terjadi pada tertib bahasa di masa Orde Baru di Indonesia. Banyak kata yang disingkat dan dicekal.
Plunge dari Jean Tay, Singapura, bergegas
dari ingatan seorang gadis keturunan Tionghoa di Indonesia yang diperkosa pada 1998. Tragedi berhubungan dengan inflasi ekonomi Asia itu dikisahkan seorang pewarta berita Singapura.
Courageus Turtle dari Chea Sokyou, Kamboja, menjadi jembatan sejarah antara generasi muda yang tak mengalami rezim Khmer Merah dan mereka yang berada di dalam era tersebut –melalui cara bertutur mendongeng.
Sedangkan Red Janger dari Ibed Surgana Yuga, Indonesia, adalah lawatan terhadap sejarah gelap Indonesia pada 1965 melalui peristiwa pembongkaran massal puingpuing tengkorak para korban pembantaian Orde Baru di daerah Jembrana, Bali.
Para penulis naskah berkumpul dalam sebuah lingkaran percakapan yang intim dan kecil. Tradisi dramatic reading yang dijalankan Indonesia Dramatic Reading Festival sejak 2010 memantapkan dirinya untuk hadir sebagai partisipan dalam medan besar seni pertunjukan dunia, justru dengan sifatnya yang taktis dan efektif: membacakan naskah drama.
Namun, dinamika perubahan berlangsung di dalamnya. Dari hanya membaca drama, berangsur-angsur kemudian muncul pengadeganan, hadir blocking, serta objekvisual maupun kostum yang dihadirkan dalam pertunjukan.
Hubungan antara naskah drama dan para pembacanya yang hadir selama kurun waktu pelaksanaan Indonesia Dramatic Reading Festival kini menjadi platform tersendiri. Ia lambat laun menjadi format tontonan yang mandiri, tak hanya sebagai sesi latihan menuju pentas. Dramatic reading kemudian menjadi bentuk pentas itu sendiri, yang tak lagi hanya membaca.
Pertukaran sejarah yang terjadi dalam proses naskah Plunge dari Jean Tay serupa dialog jarak. Bagaimana seorang yang tinggal di Singapura melacak dan memindai dari teropong identitas yang berbeda.
Lakon ini dengan baik mengolah situasi kearsipan dan dampak mental dari krisis finansial Asia 1997–1998 melalui sudut pandang Ina, remaja keturunan Tionghoa yang besar di sekitar tahun tersebut.
Penelitian Assessing the Impacts of and Responses to the 1997-98 Asian Financial Crisis Through A Child Rights Lens dari Nicola Jones & Hannah Madsen membuat saya bertanya-tanya bagaimana ekonomi mengkoreografi banyak hal, menggerakkan secara global, batas-batas perubahan, wilayah dan tingkah laku, hingga menembus dinding pertahanan bernama rumah.
Apabila Jean Tay yang pernah berprofesi ahli ekonomi melihat kenyataan mata uang sebagai grafik angka-angka, drama ini memperlihatkan bayangan lain dari inflasi Asia. Yakni, tatapan lebih dekat dari bencana ekonomi melalui tubuh seorang wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa.
Pada titik itu, jembatan antar kawasan Asia Tenggara terbangun melalui bahasa Indonesia atas jasa penerjemah.
Dalam salah satu sesi diskusi panel APM 2019 yang bertajuk On Translating Plays di gedung pascasarjana ISI Yogyakarta dibicarakan tentang kontribusi praktik penerjemahan bagi medan teater. Tentunya terjemahan adalah hal yang signifikan. Ia menghubungkan dialog antarbangsa, tetapi juga ihwal ketakterjemahan untranslatability.
Itu dikatakan Aya Ogawa saat akan menerjemahkan teks-lakon Toshiki Okada ke dalam bahasa Inggris. Toshiki sendiri heran sembari berkata, ”Saya tidak berpikir karya saya bisa menarik untuk orang lain. Saya membuatnya spesifik untuk publik Jepang.”
Dari pernyataan tersebut, saya melihat bahwa spesifikasi atas lokal dapat disimak sebagai keragaman yang khusus. Seperti metafora ”kura-kura” yang digunakan Chea Sokyou. Ia tak hanya sebatas binatang peliharaan, namun juga ungkapan Khmer untuk orang-orang yang penakut dan ragu. Seperti kura-kura yang menyembunyikan kepalanya di dalam tempurung: Kura-kura pengecut (on derk knong snouk).
Linda Mayasari, direktur Cemeti Institute For Art and Society, yang lebih khusus berpraktik dalam bidang tari dan visual, mempertanyakan bagaimana naskah drama bisa melampaui hal yang tak bisa diterjemahkan tersebut. Pada saat yang sama, saya teringat satu metode proses pentas dari Tomohiko Kyogoku pada Asian Performing Arts Forum 2019, Tokyo. Dia yang seorang Jepang dan tak fasih berbahasa Inggris harus menyutradarai aktor dan penari dari Filipina dan Taiwan. Bukannya menggunakan bahasa Inggris, dia kemudian malah mengajukan tubuh-tubuh yang spontan sebagai cara berkomunikasi selama latihan.
Jejaring itu adalah operasi yang efektif untuk membentangkan relasi antar penulis lakon di negara-negara Asia Tenggara. Dia mempertukarkan krisis, menunggangi drama sebagai juga alat baca sosial dan kenyataan.
Parallel realities adalah sarana untuk saling berkumpul dan memahami lokus-lokus perbedaan antar kawasan. Riyadhus Shalihin, partisipan Asian Playwright Meeting 2019, Jogjakarta