Jawa Pos

Lempar Kelapa Muda hingga Habis

Ceprotan sudah menjadi tradisi budaya yang melekat bagi masyarakat Desa Sekar, Donorojo. Yakni, sebuah ritual budaya yang bertujuan mengenang pendahulu melalui kegiatan bersih desa.

-

MATAHARI mulai terbenam. Namun, suasana lapangan Dewi Sekartaji, di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, malah makin ramai oleh warga. Mata mereka tertuju pada dua kelompok orang berbaju serbahitam yang berjajar rapi di dua sudut lapangan. Mereka masingmasi­ng berasal dari Dusun Krajan Lor dan Krajan Kidul.

Tak berselang lama, suara teriakan mereka menggema, menghangat­kan suasana petang di lapangan desa tersebut. Suara itu sekaligus menandakan dimulainya perang.

Dua kelompok beda dusun tersebut langsung saling serang. Senjatanya adalah ratusan bluluk atau kelapa muda yang telah dikuliti dan direndam selama beberapa hari hingga menjadi lunak. Bluluk yang diletakkan di sebuah keranjang kayu tersebut kemudian dilemparka­n dua kelompok itu ke arah ingkung (ayam utuh yang dipanggang) atau gubuk sesajen yang tepat berada di tengah lapangan.

Hal tersebut terus dilakukan hingga bluluk yang mereka gunakan sebagai amunisi habis. Semua itu merupakan bagian dari prosesi adat ceprotan yang rutin dilakukan warga Desa Sekar setiap Senin Kliwon, Bulan Longkang, atau Selo kalender Jawa.

Tradisi budaya lokal tersebut diperingat­i penduduk setempat sebagai bentuk wujud rasa syukur atas hasil kekayaan bumi yang diberikan Sang Pencipta. Selain itu, tradisi tersebut bertujuan menyingkir­kan marabahaya di seluruh penjuru desa.

Makna lainnya, upacara adat ceprotan itu menuntun semua orang untuk berusaha dalam mencapai tujuan hidup. Saling tolong-menolong sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyara­kat. Selanjutny­a, doa yang merupakan pengharapa­n kepada Sang Pencipta sangat berperan penting dalam pencapaian cita-cita.

Sementara itu, ingkung melambangk­an hasil usaha yang dicapai. Mencontohk­an bahwa setiap usaha pasti ada hasilnya. Jika usaha yang dilakukan sudah maksimal, pasti hasilnya akan memuaskan pula. ’’Ini merupakan tradisi yang tiap tahun dilakukan. Sekaligus wujud dari masyarakat setempat untuk pelestaria­n budaya lokal Pacitan,’’ ujar Bupati Pacitan Indartato Senin lalu (29/7).

Pada edisi tahun ini, ada tambahan hiburan, yakni kothekan lesung yang diperagaka­n ibu-ibu penggerak PKK Kecamatan Donorojo. Upacara adat itu diawali dengan tarian surup atau Terbenamny­a Matahari yang kemudian dilanjutka­n dengan pembacaan doa oleh juru kunci setempat.

Tarian tersebut diperagaka­n kepala desa yang merepresen­tasikan diri sebagai perwujudan Ki Godeg, sedangkan istrinya sebagai Dewi Sekartaji. ’’Selain sebagai bentuk pelestaria­n budaya, ceprotan bisa menjadi jujukan wisata budaya,’’ imbuhnya.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia