Menunggu Penguatan Lembaga di Pilkada
Ada peran Bawaslu ketika jumlah sengketa hasil Pemilu Legislatif 2019 menurun drastis jika dibandingkan dengan lima tahun lalu. Problem diselesaikan saat proses berlangsung sehingga sengketa hasil pemilu tinggal sedikit. Sayang, peran tersebut belum tentu
JUMLAH permohonan sengketa yang ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) tahun ini turun ketimbang 2014. Tepatnya 260 berbanding 900. Bawaslu pun terkena imbas positif dan ikut mendapatkan apresiasi. Penguatan wewenang Bawaslu disebut ikut andil atas turunnya jumlah permohonan sengketa hasil pemilu di MK.
Sepanjang Pemilu 2019, Bawaslu sudah mengeluarkan berbagai putusan sengketa maupun pelanggaran administrasi. Tercatat, ada 25 putusan pelanggaran administrasi pemilu yang dipublikasikan oleh Bawaslu. Kemudian, 17 putusan ajudikasi sengketa proses pemilu dan 9 putusan hasil mediasi atas sengketa proses pemilu. Belum lagi perintah pemungutan suara ulang di 789 TPS dan hitung ulang di sejumlah TPS lain.
Performa Bawaslu yang meningkat jika dibandingkan dengan 2014 itu kini terancam anjlok. Khususnya dalam menghadapi pilkada serentak 2020. Sebab, rezim pemilu dan pilkada berbeda. UU yang mengatur kewenangannya juga berbeda. Pilkada diatur dalam UU 1/2015, UU 8/2015, dan UU 10/2016. Sementara itu, pemilu diatur dalam UU 7/2017.
Ada sejumlah perbedaan wewenang Bawaslu dalam pemilu dan pilkada. Yang paling kentara terkait dengan organisasi. Pada level kabupaten/kota, di Pemilu 2019 organisasinya sudah permanen menjadi Bawaslu. Sementara untuk pilkada, pengawas di level yang sama adalah sebuah lembaga ad hoc (selengkapnya lihat grafis).
Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva menjelaskan, paradigma yang digunakan dalam penyelesaian sengketa pemilu tahun ini sudah tepat. Sengketa yang terkait dengan proses pemilu diselesaikan saat tahapan pemilu berjalan. ”Sehingga yang tersisa di MK hanya persoalan-persoalan sisa,” lanjut dia.
Menurut Hamdan, yang dilakukan Bawaslu saat ini bisa menjadi awal yang baik dalam mewujudkan sebuah sistem peradilan pemilu. Khususnya untuk pilkada. ”Apalagi, ke depan tidak di MK lagi (sengketanya, Red). Maka, election
justice (keadilan pemilu, Red) itu harus diperbaiki di proses, bukan di akhir,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menuturkan, banyaknya permohonan yang ditolak MK menunjukkan efek penguatan Bawaslu . ”Putusan itu memberi pesan eksplisit soal lanskap dan desain penegakan hukum pemilu Indonesia,” terang dia.
Namun, dia berharap Bawaslu tidak sekadar diperkuat. Yang lebih penting lagi, harus benar di segala aspek. Mulai rekrutmen, penempatan, kompetensi, hingga kapasitas sumber daya manusia (SDM). ”Semua jajaran Bawaslu juga harus benar dalam memahami semua aturan main pemilihan. Juga harus sadar atas fungsinya sebagai instrumen keadilan pemilu,” imbuhnya.
Saat dimintai konfirmasi mengenai penguatan tersebut, Ketua Bawaslu Abhan mengakui, ada problem perbedaan rezim antara pemilu dan pilkada. Karena itu, Bawaslu akan menyambut positif bila pembuat UU berencana memperkuat Bawaslu lewat revisi UU Pilkada.
Sambil menanti peluang tersebut, Abhan menyiapkan pembenahan di internal. Khususnya kemampuan dalam mengoptimalkan pencegahan pelanggaran dan kesalahan dalam pemilu. Contohnya, dalam penghitungan dan rekapitulasi suara, jangan sampai muncul potensi pelanggaran administratif. ”Kami akan memperkuat jajaran pengawas TPS,” katanya.
Pihaknya juga akan berdiskusi dengan KPU mengenai formulir C1. Ada sejumlah sengketa yang problemnya berasal dari kesalahan di C1. Pihaknya mewacanakan sebuah solusi. ”Ketika C1 plano sudah disalin ke C1 hologram, itu seharusnya difotokopi, baru ditandatangani dan diberikan ke semua pihak,” tutur mantan ketua Bawaslu Jateng itu. Langkah tersebut bisa mengurangi potensi manipulasi.