Jawa Pos

Menjaga Kelawasan Sekaligus Menambah Penghasila­n

Jika Seoul punya Bukchon Hanok Village, Malang punya Kampung Kayutangan. Konsepnya mirip. Rumah warga dijadikan spot kunjungan wisata. Tidak hanya mendapatka­n foto yang Instragama­ble, pengunjung juga bisa merasakan sensasi sejenak berada di dalam rumah te

- SHABRINA PARAMACITR­A, Malang, Jawa Pos

SEBUAH rumah di Jalan Arif Rahman Hakim Gang 2 sore itu (15/7) didatangi sekelompok anak muda

Mereka berswafoto di depan rumah bernuansa hijau putih yang terletak tak jauh dari mulut gang. Gaya arsitektur­nya yang unik menjadi daya tarik.

’’Lagi, lagi... Yak, 1, 2, 3, oke sip,’’ kata Efie Sinta, pengunjung asal Malang. Dia sedang memotret kekasihnya, Daffa Arya, yang datang dari Jakarta. ’’Ulang Yang, jelek kamu,’’ ucap Efie. Daffa kembali berpose.

Sebuah papan bertulisan Jamu Air Mancur; Pusaka Warisan Leluhur terpajang di ventilasi. Di pagar, terdapat papan keterangan yang menamakan rumah itu sebagai Rumah Jamu, milik Bu Esther.

Suseno, sang pemilik rumah, menceritak­an bahwa rumah itu dulu memang pernah menjadi tempat pengobatan shin she.

’’Dulu itu. Sekarang jarang kulakan jamu lagi. Tapi, saya biarkan saja toples-toples jamu dan papan Jamu Air Mancur itu di sini. Biar khas heritage-nya dapet,’’ katanya.

Suseno tinggal di rumah tersebut bersama ibunya, Esther. Rumah dibangun pada 1940-an dan tak pernah dipugar sampai sekarang. Termasuk tegelnya yang bermotif bunga warna-warni. Belum diganti.

Satu-satunya renovasi yang pernah dilakukan adalah penukaran posisi jendela dan pintu depan rumah pada 1970. Renovasi dilakukan karena berdasar budaya Tionghoa, tak baik jika pintu berada berhadapan dengan dapur.

Suseno maklum jika rumahnya sering jadi spot foto pengunjung Kampung Wisata Kajoetanga­n (Kampung Kayutangan). Sejak kampung tempat tinggalnya berbenah menjadi kampung wisata heritage setahun lalu, rumahrumah yang masih mempertaha­nkan bentuk aslinya –entah itu yang mengandung unsur arsitektur Belanda, Jawa, maupun jengki (rumah beratap pelana)– dijadikan spot foto.

Rumah-rumah tersebut dipasangi papan keterangan mengenai siapa pemilik rumah dan dibangun pada tahun berapa. Bahkan, di beberapa rumah dipajang foto-foto lawas sang pemilik yang direpro ulang. Selain menjadi spot foto, rumah tersebut boleh dimasuki pengunjung yang ingin bertanya mengenai sejarah rumah itu.

Mereka juga boleh mencicipi kuliner khas Malang yang disediakan si empunya rumah. Biasanya, pengunjung membayar Rp 10 ribu hingga Rp 25 ribu jika masuk ke rumah warga.

Namun, Suseno tak pernah menarik biaya dari pengunjung yang datang ke rumahnya. ’’Di sini mau masuk, monggo. Gratis. Cuma kadang kesal sama yang foto di luar. Mereka foto, loncat pagar, jendela rumah saya ditutup, terus ndak dibuka lagi. Ditinggal begitu saja. Mestinya habis foto kan dibuka lagi, wong saya ada di dalam rumah,’’ ungkapnya.

Begitulah keseharian warga di Kampung Kayutangan. Kampung lawas di Kota Malang itu kini menjadi kampung wisata sejarah. Untuk mendatangi­nya, pengunjung bisa mengakses Jalan Arif Rahman Hakim di koridor Talun dan koridor Kayutangan di Jalan Basuki Rahmat. Pengunjung akan ditarik tiket Rp 5 ribu ketika masuk.

Kampung Kayutangan sudah sangat berubah. Kampung tertua di Malang tersebut dulu termasuk dalam wilayah Talun (tepi hutan). Dwi Cahyono, sejarawan Universita­s Negeri Malang (UM) yang ikut menggagas Kampung Wisata Heritage Kajoetanga­n, mengungkap­kan, dalam prasasti Ukir Nagara, Talun dulu merupakan desa yang dibebaskan dari pajak (perdikan) pada 1198. Talun dulu berbentuk perkebunan di pinggir hutan.

Nama Kayutangan berasal dari kata patanganta­ngan. Ada nama pohon yang bentuknya mirip tangan manusia jika dibentangk­an. ’’Pohon itu tak hanya ada di hutan-hutan di Malang, tapi juga ada di Tulungagun­g,’’ jelas Dwi. Karena itu, di Tulungagun­g juga ada desa yang bernama Rejotangan.

Berdasar Kitab Pararaton, hutan kayutangan di Malang itu dulu pernah menjadi tempat persembuny­ian Ken Arok ketika diburu Tunggul Ametung pada abad ke-13.

Kemudian, terjadi revitalisa­si di kawasan tersebut sejak Belanda masuk ke Kota Malang. Revitalisa­si kawasan Kayutangan itu terjadi sekitar abad ke-18, tepatnya ketika Belanda mendirikan perkampung­an untuk orang-orang Eropa. Kampung-kampung itu tersebar dekat benteng-benteng yang ada ketika itu, antara lain, di sisi selatan Sungai Brantas, Klojen Lor, Sawahan, Tongan (kampung Arab), dan Talun.

Selain itu, koridor Kayutangan yang letaknya dekat dengan alun-alun menjadi ’’pintu masuk’’ menuju Kota Malang. Kawasan koridor tersebut kemudian menjadi pusat bisnis. Banyak kantor, toko, dan tempat berdagang yang dibangun di sekitar kawasan itu. Pusat bisnis tersebut meliputi kawasan Kayutangan dari sisi utara hingga selatan.

Di luar itu, ada kampung-kampung tempat tinggal orang Eropa yang masih bertahan sampai sekarang. Salah satu dan yang tertua di Malang adalah kawasan Kampung Wisata Heritage Kajoetanga­n.

Menurut Dwi, ada sisi sejarah yang bisa dibagikan kepada pengunjung. Sayang, banyak warga yang belum mengetahui detail sejarah kawasan kampungnya sendiri.

’’Sejak tahun lalu, saya dan teman-teman dari Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang, Dinas Pariwisata Kota Malang, dan rekanrekan yang lain berusaha mengedukas­i tentang ini. Jadi, bagaimana kita berusaha mempertaha­nkan kampung purba ini supaya kita juga bisa cerita sama orang-orang dari luar kota,’’ katanya.

Dari tiga RW yang tergabung dalam kampung wisata, Kampung Kayutangan kini memiliki 40-an rumah yang masih mempertaha­nkan unsur kelawasan masingmasi­ng. Itulah yang berusaha dipertahan­kan, baik oleh tim cagar budaya, seniman, sejarawan, maupun pihak-pihak lain yang peduli pada sejarah Kota Malang.

Dinding rumah-rumah kuno di Kampung Kayutangan rata-rata memiliki ketebalan ukuran super. Bisa sampai 30 sentimeter (cm). Jauh lebih tebal jika dibandingk­an dengan rata-rata tebal dinding rumah modern yang hanya 15 cm. Lalu, atapnya miring 45 derajat. Besi-besi teralisnya rata-rata tipis melengkung dan membentuk ornamen. Ada juga yang tebal berbentuk garis tegak lurus. Sangat khas, seperti rumah kakeknenek para generasi milenial sekarang.

Menggagas kampung wisata ini bukanlah perkara mudah. Ahmad alias I’ink, anggota Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di kampung itu, bilang, masalah utama adalah menyatukan visi dan misi warga. Banyak warga yang tinggal di rumah kuno, tapi mereka tak sadar bahwa rumahnya itu adalah aset wisata. ’’Mereka mikir, apa sih ini tujuannya dibikin spot foto, buat apa sih?’’ ucap I’ink.

Namun, setelah diedukasi, mereka pun sadar. Warga membangun ekosistem wisata di kampungnya. Mereka belajar cara menjadi tour guide, mengatur keuangan hasil penjualan tiket, bekerja bakti, menyediaka­n foto lawas untuk dipajang di depan rumah, dan bahkan ada yang mulai berjualan jajanan daerah. Misalnya keripik, pentol, dan marning. Warga juga sering bekerja sama dengan komunitas model, fotografer, musisi keroncong, dan lain-lain untuk menggelar pentas serta lomba-lomba seni di kampung.

I’ink juga menjadikan rumahnya sebagai spot foto. Pengunjung bisa masuk ke dalam rumah I’ink dan berfoto dengan barangbara­ng antik koleksi I’ink. Di dalam rumah I’ink ada kamera, televisi, kaset, dan propertipr­operti lawas lain yang bisa menjadi pelengkap swafoto pengunjung.

 ?? SHABRINA PARAMACITR­A/JAWA POS ?? BAWA KE MASA LAMPAU: Suasana di Kampung Kayutangan yang ada di Kota Malang. Pengunjung bisa mendapati ceritaceri­ta sejarah yang diceritaka­n pemilik rumah.
SHABRINA PARAMACITR­A/JAWA POS BAWA KE MASA LAMPAU: Suasana di Kampung Kayutangan yang ada di Kota Malang. Pengunjung bisa mendapati ceritaceri­ta sejarah yang diceritaka­n pemilik rumah.
 ?? SHABRINA PARAMACITR­A/JAWA POS ??
SHABRINA PARAMACITR­A/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia