TRANSISI FRANKIE TERLALU CEPAT
MANCHESTER, Jawa Pos – Big match matchweek pertama Premier League 2019–2020 antara Manchester United versus Chelsea kemarin dini hari WIB (12/8) berakhir mengejutkan. Setan Merah menggelontorkan empat gol ke gawang Kepa Arrizabalaga di Old Trafford.
Itulah kemenangan kandang terbesar United di era kepelatihan Ole Gunnar Solskjaer atau sejak Desember 2018. Juga kemenangan kandang dengan margin empat gol kali pertama bagi United sejak mengalahkan Crystal Palace hampir dua tahun lalu (September 2017).
Seperti diulas Sportskeeda, Solskjaer telah mengembalikan serangan balik mematikan yang membuat dirinya meraih 11 laga tak terkalahkan di awal menangani United. Selain itu, program latihan fisik selama pramusim membuat pemain Setan Merah konstan melakukan pressing ketat sepanjang pertandingan. ’’Seperti yang saya katakan kepada anak-anak sebelum pertandingan, saat ini kami telah menemukan cara bermain seperti yang diinginkan dan filosofinya. Mereka tinggal menjalani dan melakukan hal yang sama (seperti di pramusim, Red),’’ beber Solskjaer seperti dikutip Manchester Evening News.
Nah, situasi Solskjaer yang nyetel dengan David de Gea dkk berkebalikan dengan apa yang dialami Frank Lampard dan Chelsea. Padahal, secara permainan, The Blues tidak buruk. Bahkan, Lampard yang tetap memakai pendekatan sepak bola ofensif mampu menghasilkan 18 percobaan mencetak gol atau 7 kali lebih banyak daripada United.
Penguasaan bola Cesar Azpilicueta dkk juga lebih unggul (54 persen berbanding 46 persen). Untuk jumlah umpan dan akurasi umpan, Chelsea juga berada di atas United. The Blues melakukan 523 umpan dengan akurasi mencapai 84 persen, sedangkan Setan Merah melakukan 449 umpan dengan akurasi 81 persen.
Namun, kesalahan menjadi pembeda. ’’Faktanya, ada empat kesalahan individual yang mengakibatkan empat gol. Itu menjadi realitas yang keras bagi kami,’’ kata Lampard seperti dilansir Evening Standard.
Keputusan menurunkan banyak pemain muda juga sudah dijawab oleh Super Frankie, julukan Lampard. Termasuk analisis Jose Mourinho. Mantan pelatih Chelsea yang kini menjadi pundit tersebut mengkritisi pilihan Lampard yang terkesan memaksakan Mason Mount sebagai kreator serangan atau pemain nomor 10. Meski, menilik permainan kemarin, Mount memiliki dua kaki yang sama kuat, berani melepaskan tembakan jarak jauh, dan punya visi bagus. ’’Saya tidak harus menerima semua omongan orang, pengamat sepak bola, atau siapa pun mereka. Inilah skuad kami. Saya percaya dengan skuad yang saya miliki,’’ ucap pria 41 tahun tersebut.
Namun, ulasan Football London, tampaknya, perlu diterima oleh Lampard. Yakni, terkait dengan transisi taktik yang terlalu berani oleh gelandang andalan Chelsea periode 2001–2014 tersebut. Musim lalu, di bawah kendali Maurizio Sarri, Chelsea selalu bermain dengan formasi 4-3-3. Kalaupun ada variasi, yang diubah nama-nama pemainnya. ’’Kali terakhir Chelsea memakai formasi 4-2-3-1 sudah tiga tahun lalu (di era Antonio Conte, Red). Itu pun bukan di ajang reguler (putaran ketiga Piala Liga 2016–2017 melawan Leicester City, Red),’’ tulis Football London.
Versi Football London, Conte adalah pelatih Chelsea dengan pemahaman transisi taktik terbaik. Perubahan tiga bek yang disukai Conte tak dilakukan secara radikal pada musim perdananya (2016–2017) atau saat Chelsea finis sebagai juara Premier League. The Godfather memakai delapan kali formasi empat bek di awal musim, kemudian baru berganti skema tiga bek pada 39 laga selanjutnya.
Di sisi lain, kalah telak pada laga pertama membuat Lampard dihujani meme. Misalnya, yang ditampilkan di Bleacher Report. Chelsea diledek sedang mempekerjakan seorang guru olahraga dan bukan pelatih sepak bola.