Di antara banyaknya penduduk Indonesia,
Terobosan Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Kridhamardawa Keraton Jogjakarta Viralkan Flash Mob Tarian Jawa
ada sebagian yang berpikir dan berusaha lebih keras untuk merawat budaya. Agar lingkungan sekitarnya makin kenal dengan budayanya sendiri. Agar orang-orang di luar sana ikut mengetahui dari mana budaya itu berasal. Karena apa? Karena kita Indonesia.
HATI Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro miris begitu disodori fakta demikian njomplang-nya animo penonton untuk menyaksikan panggung seni tradisional dan modern. Prambanan Jazz Festival yang notabene acara berbayar, kata suami putri keempat Sultan Hamengkubawana X tersebut, bisa tembus 30 ribu penonton.
Sementara itu, pementasan tari gratis dari empat keraton eks Mataram Islam (Kasultanan Jogjakarta, Kadipaten Pakualaman, Kasunanan Surakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran) yang bertajuk Catur Sagatra cuma tembus 2.000 penonton.
’’Padahal, promosi kami sudah gila-gilaan, termasuk pakai flash mob itu. Angka 2.000 tersebut sudah luar biasa mengingat Catur Sagatra sebelumnya paling banyak hanya ditonton 500 orang,’’ ucap KPH Notonegoro Rabu lalu (7/8) saat diwawancarai di Tepas Kasatriyan Keraton Jogjakarta.
Jika ditarik mundur setahun sebelum flash mob diadakan, KPH Notonegoro memang punya harapan bahwa keraton bakal kembali menjadi sentrum kebudayaan Jawa. Dan, Catur Sagatra
2019 yang berlangsung 14 Juli lalu di Keraton Jogjakarta dijadikan momentumnya.
Flash mob yang dilakukan para mataya (penari) KHP Kridhamardawa Keraton Jogjakarta di Malioboro pada 18 Juni lalu adalah pintu masuknya. Selain mengajak masyarakat kembali mencintai seni budaya nenek moyang, mataya flash mob itu menjadi
bagian promosi Catur Sagatra 2019.
Dalam gelar budaya tersebut, Keraton Jogjakarta dan KHP Kridhamardawa mendapatkan jatah mementaskan fragmen Subali Lena dalam epos Ramayana. Nah, karena tak mungkin menampilkan secara utuh lakon itu, yang kirakira menghabiskan 45 menit kalau dipentaskan, performa yang dipertontonkan di Malioboro cuma nukilan gerak Subali Lena. Yakni, gerak dasar kapi (monyet).
Meski cuma gerak dasar kapi yang dihadirkan ke publik, ternyata video berdurasi 5 menit 28 detik ala mataya flash mob tersebut viral. Dalam kanal YouTube Kraton Jogjakarta per kemarin (13/8), video flash mob itu sudah ditonton 386.569 orang dan mendapatkan 1.491 komentar.
Tarian flash mob ala para mataya (penari) KHP Kridhamardawa Keraton Jogjakarta tersebut kemudian ditampilkan di beberapa pusat keramaian Kota Gudeg.
Di mal, Malioboro, bahkan sampai ke Bundaran HI Jakarta.
’’Virus’’ flash mob dengan gerakan tarian Jawa itu cepat menyebar Berbagai komunitas dan instansi pemerintah dari daerah luar kota seperti Jakarta, Bojonegoro, Madiun, Ponorogo, dan Mojokerto sampai meminta
KHP Kridhamardawa memberikan pelatihan ke tempat mereka.
’’Belum semua permintaan agar mataya KHP Kridhamardawa mengajar di berbagai daerah bisa kami turuti. Kami akan senang kalau mereka bisa mengirim wakil ke Keraton Jogjakarta dan kemudian akan kami ajari untuk beberapa waktu,’’ kata KPH Notonegoro.
Sutradara mataya flash mob Sri Wigihardo, menuturkan pada awalnya dirinya tak menyangka joget para kapi KHP Kridhamardawa itu akan mendapatkan apresiasi tinggi. Penonton yang hadir sampai ikut menari bersama.
’’Dari situ, kami menjadi optimistis bahwa sesungguhnya masyarakat kita ini masih memiliki rasa cinta besar kepada tradisi aslinya. Cuma, mungkin karena kurang terekspos, makanya seni budaya kita tenggelam dan kalah dikenal,’’ tutur Hardo, sapaan Sri Wigihardo. Setelah penampilan di Malioboro, mataya flash mob sempat tampil di car free day (CFD) Jakarta serta tiga titik lain di Jogjakarta. Ibarat sebuah ’’serangan balik’’ kepada budayabudaya dari luar Indonesia, mataya flash mob itu merupakan titik
mulanya.