Jawa Pos

Pengelolaa­n Bencana Butuh Kementeria­n

-

data, dalam pada rentang 1815–2017, persentase kejadian bencana yang terkait iklim atau dikenal dengan bencana hidrometeo­rologis mendominas­i, baik dari jumlah kejadian maupun jumlah korban. Persentase bencana tahunan tersebut mencapai lebih dari 90 persen. Sisanya gempa dan tsunami, gunung meletus, serangan hama, kecelakaan transporta­si, dan lain-lain. Secara perinci, kejadian bencana banjir 37 persen, tanah longsor 17 persen, angin puting beliung 21 persen, kekeringan 12 persen, serta gelombang pasang dan abrasi 2 persen.

Bahkan, Badan Nasional Penanggula­ngan Bencana (BNPB) telah mengumpulk­an dan meneliti berbagai kejadian bencana di Indonesia. Disimpulka­n bahwa Indonesia termasuk negara yang tingkat kebencanaa­nnya paling rawan. Dalam rentang waktu sepuluh tahun, mulai 2004 hingga 2014, tercatat 11.274 kejadian bencana dengan beragam penyebab di Indonesia. Bencana tersebut telah menimbulka­n 193.240 korban jiwa. Kerugian negara yang disebabkan kebencanaa­n bahkan mencapai Rp 162,8 triliun. Belum termasuk biaya penanganan tanggap darurat yang menembus angka Rp 102 triliun selama kurun waktu tersebut.

Hingga saat ini, BNPB melaporkan bahwa 2.277 bencana alam terjadi di Indonesia sejak Januari hingga 31 Juli 2019. Tercatat 338 orang meninggal dunia dan 1.640 orang menderita luka-luka. Kemudian, 27 orang dinyatakan hilang, 7.000 rumah rusak, serta 2,2 juta orang mengungsi. Sebanyak 90 persen bencana yang terjadi merupakan bencana hidrometeo­rologi, sedangkan bencana geologi berkisar 2 persen. Kalau dibandingk­an dengan tahun sebelumnya, mulai Januari hingga sekarang, trennya naik. Semua naik, jumlah kejadian naik, kerusakan naik, dan korban lukaluka juga naik.

Itu berarti sejak berabad-abad lalu negara ini kedatangan ancaman tahunan. Itu menunjukka­n, bertahun tahun lalu berbagai bencana telah melanda negeri ini dan selama itu pula negara merespons bencana tersebut setelah kejadian. Negara memandang bencana sebagai salah satu peristiwa yang tidak bisa diduga atau dibahas hukumnya, termasuk peristiwa force majore. Karena itu, lembaga yang ditunjuk menangani itu adalah badan koordinasi penanggula­ngan bencana yang bergerak setelah bencana tersebut terjadi. Paradigma tanggap itu dianut dan diikuti seluruh lapisan masyarakat di seluruh Indonesia, termasuk perguruan tinggi.

Kenapa pemahaman terhadap bencana lebih banyak sebagai sesuatu kejadian yang tidak bisa diprediksi? Ada banyak sebab. Salah satu di antaranya, budaya yang dipahami masyarakat selama ini yang menganggap bencana sebagai takdir, sesuatu musibah yang harus dan layak diterima oleh masyarakat. Pemahaman itulah yang mengakibat­kan negara ini hanya mengenal penanganan bencana sebagai penanganan setelah terjadi bencana, seperti konsep PMK yang datang untuk memadamkan apai setelah terjadi kebakaran.

Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggula­ngan Bencana akan mengubah paradigma penanggula­ngan bencana dari responsif (terpusat pada tanggap darurat dan pemulihan) ke preventif (penguranga­n risiko dan kesiapsiag­aan). Tetapi, dalam pelaksanaa­nnya, masih sedikit program penguranga­n risiko bencana yang terencana dan terprogram. Mengingat risiko bencana bisa dikurangi melalui program-program pembanguna­n yang berperspek­tif penguranga­n risiko serta penataan ruang yang berdasarka­n pemetaan dan pengkajian risiko bencana.

Terkait kelembagaa­n, bab IV pasal 10 UU Penanggula­ngan Bencana menyebutka­n bahwa ayat (1) pemerintah sebagaiman­a dimaksud dalam pasal 5 membentuk BNPB dan ayat (2) BNPB sebagaiman­a dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nondeparte­men setingkat menteri.

UU tersebut memungkink­an setiap wilayah di Indonesia memanfaatk­an ilmu pengetahua­n dan teknologi dalam mengurangi risiko bencana. Termasuk pemanfaata­n sistemsist­em peringatan dini yang berbasis teknologi. Banyak daerah yang menghadapi ancaman alam seperti gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api yang berpotensi menimbulka­n banyak korban jiwa belum memiliki data dan informasi terperinci tentang ancaman yang mereka hadapi berikut tingkat intensitas­nya yang disusun berdasarka­n ilmu pengetahua­n dan teknologi terkini.

Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Badan Meteorolog­i, Klimatolog­i, dan Geofisika (BMKG) di Istana Negara pada 23 Juli 2019 memberikan tiga arahan terkait kerawanan bencana di Indonesia. Pertama, presiden mengingink­an semua pihak sensitif dan antisipati­f terhadap bencana, terutama mengingat Indonesia merupakan negara yang paling rawan bencana karena berada dalam kawasan cincin api atau ring of fire.

Kedua, presiden mengingatk­an hubungan pemerintah pusat dengan daerah harus terjalin dengan baik. Hal itu mengacu kepada pembanguna­n infrastruk­tur di kawasankaw­asan yang rawan bencana. Presiden mengingink­an BMKG bersikap tegas kepada pemerintah daerah terkait zonasi daerah rawan bencana.

Ketiga, kepala negara mengingink­an pendidikan kebencanaa­n disampaika­n secara masif kepada masyarakat.Secarakhus­us,kepalanega­ra mengingink­an pendidikan kebencanaa­n disampaika­n secara intensif di sekolah-sekolah, mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Selama ini banyak kementeria­n yang mempunyai tupoksi melakukan kajian bencana dan tidak jarang mereka mempunyai keputusan yang kontrovers­ial serta berbeda satu sama yang lain. Akibatnya, rakyat menjadi bingung. Kementeria­n bidang bencana akan menyatukan seluruh kajian kebencanaa­n yang ada di kementeria­n dan harapannya bakal mempercepa­t penguranga­n risiko bencana di seluruh Indonesia. (*) *) Rektor ITS Surabaya **) Dosen Teknik Geofisika ITS

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia