Menikmati Kesegaran Banyu Awet Nom Jolotundo
KABUPATEN Mojokerto memiliki visi dan misi mengeksplorasi, termasuk sektor pariwisatanya. Ceruk-ceruknya terus digali, diangkat, lalu dipajang di ”lapak jualan” rekreasi. Ratusan destinasi wisata sudah dijelajahi. Namun, diprediksi antrean barisan destinasi wisata baru masih panjang.
Bisa dibilang, Kabupaten Mojokerto sangat mujur. Sebab, 18 kecamatannya memiliki branding tersendiri, mulai unsur alam, sejarah, hingga wisata religi. Ada satu destinasi yang ikonik karena memadukan semua unsur tersebut. Yakni, Petirtaan Jolotundo.
Kolam eksotis itu berlokasi di lereng Bukit Bekal, salah satu puncak Gunung Penanggungan, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas. Sejarah mencatat bahwa Petirtaan Jolotundo dibangun sekitar tahun 997 Masehi oleh Raja Udayana dari Bali yang menikah dengan Putri Guna Priya Dharma.
Petirtaan Jolotundo dibangun sang raja untuk merayakan kelahiran putranya, Airlangga. Kemudian, kolam yang konstruksinya dari bebatuan andesit tersebut menjadi tempat pemandian keluarga Kerajaan Majapahit.
Hingga kini, masih banyak masyarakat yang datang untuk mandi di Jolotundo. Maklum, air Jolotundo tersohor sebagai banyu awet nom atau air awet muda. Selain itu, ada mitos yang beredar di masyarakat Jawa bahwa siapa pun yang mandi di situ akan memiliki wajah tampan dan cantik layaknya penggawa istana Kerajaan Majapahit.
Kualitas air Jolotundo juga disebutsebut terbaik di dunia setelah air zam-zam di Arab Saudi. Tentu saja klaim itu berdasar hasil penelitian para ahli. Lokasi Jolotundo merupakan pegunungan vulkanis.
Menurut para ahli hidrogeologi, mata air pegunungan vulkanis memenuhi tiga syarat karakteristik sumber air tanah yang baik, yakni kuantitas, kualitas, dan kontinuitas. Jolotundo punya tiga modal tersebut.
Kuantitas dipengaruhi faktor alami curah hujan, siklus air, dan kondisi hidrogeologis di sekitar sumber daya air tersebut. Lalu, kualitas dipengaruhi faktor alami, seperti kondisi serta komposisi tanah dan batuan, maupun aktivitas manusia seperti pertanian, pencemaran rumah tangga, dan industri.
Kontinuitas memberikan keseimbangan antara pemakaian dan pengisian ulang. Meski musim kemarau, air Jolotundo tetap mengalir.
Mata air di kolam Petirtaan Jolotundo dikelilingi bebatuan candi yang sekaligus berfungsi sebagai akuifer buatan. Akuifer adalah lapisan bawah tanah yang mengandung air dan bersifat permeable, mampu mengalirkan air karena adanya pori-pori pada lapisan itu. Bebatuan candi di Jolotundo memenuhi syarat tersebut.
Memasuki kawasan Jolotundo, lanskap biota alam berupa hutan yang sejuk dan rindang menyambut para tamu. Sisi eksotis Jolotundo yang paling kental adalah atmosfer religinya yang kuat.
Relief candi penuh pitutur pun bisa disaksikan di Jolotundo. Penuh pahatan kisah kehidupan sosial penduduk Kerajaan Majapahit.
Tiap malam Jumat, Jolotundo banyak diserbu para pelancong. Umumnya, mereka tak sekadar ingin mandi, tapi juga untuk mengalap berkah, terutama malam 1 Muharram.
Kabupaten Mojokerto terus menggali dan mengeksplorasi potensi wisatanya yang sangat banyak. Sebut saja, wisata sejarah Majapahit di Kecamatan Trowulan dan wisata religi Syekh Jumadil Kubro. Ada pula wisata alam dan panorama di kawasan selatan, yakni Pacet serta Trawas.
Di utara Sungai Brantas, tepatnya di Desa Tanjungan, Kemlagi, terdapat Waduk Tanjungan. Waduk seluas 19 hektare yang dikelilingi hutan jati itu sangat pas untuk destinasi liburan akhir pekan bersama keluarga. Apalagi Pemkab Mojokerto sudah berkomitmen mengucurkan anggaran Rp 8,5 miliar untuk pengembangan Waduk Tanjungan menjadi ekowisata bertema Putri Sekartanjung.
Seapik apa pun objek wisata, tentu butuh dukungan infrastuktur. Kemudahan akses akan berpengaruh terhadap angka kunjungan wisatawan. Untuk itu, Pemkab Mojokerto tidak tinggal diam.
”Tahun ini sarana dan prasarana penunjang pariwisata terus kami lengkapi seperti akses jalan harus lebar dan lega,” kata Wakil Bupati Mojokerto Pungkasiadi.