Jadi Suka karena Terbiasa
MOHAN Kalandara alias Momo menjadi mataya paling muda ketika tampil pada flash mob 18 Juni lalu di Malioboro. Berusia 13 tahun pada September mendatang, Momo terlihat luwes dan pede ketika njoged kapi.
’’Sebelum tampil di Malioboro, saya dipanggil Kanjeng Noto (KPH Notonegoro, Red) dan dikasih tahu bahwa sayalah yang jadi penari pertamanya. Ya sudah, saya siap,” kata siswa kelas VII SMP Stella Duce 2 Jogja itu.
Potret Momo sebagai generasi milenial yang menggeluti seni tari tradisional memang tidak banyak ditemui saat ini. Momo mengatakan, kebanyakan kawankawannya setelah sekolah beraktivitas di bidang olahraga atau musik modern. Lebih buanyak lagi yang memilih asyik nge-game dengan gawainya.
Momo tertarik pada seni tari tradisional karena kebiasaan orang tuanya, Lantip Kuswaladaya dan Jeannie Park, menari di Keraton Jogjakarta. Setiap Minggu, di Pendapa Kasatriyan, KHP Kridhamardawa membuka kesempatan penari dari berbagai daerah di Jogja untuk menari di sana.
Sang bapak, Lantip Kuswala Daya, mengatakan bahwa Momo sebetulnya juga punya bakat bermain sepak bola. Putranya itu bahkan pernah bergabung dengan salah satu franchise akademi sepak bola asal Eropa di Jogja tersebut. ’’Tendangan kaki kiri Momo ini luar biasa. Setiap akhir pekan, dia ikut turnamen di wilayahwilayah sekitar Jogja,” ucap Lantip. ’’Namun, masalahnya saya setiap Minggu juga punya kewajiban ngajar tari,” tambah pria yang juga bergabung dengan KHP Kridhamardawa sejak dekade 1980-an itu.
Setelah berkonsultasi dengan sang istri, Lantip menanyakan minat terbesar Momo. Menari atau sepak bola. Sejak usia 10 tahun, Momo sebetulnya bergabung dengan Sanggar Tari Wiraga Apuletan.
Sang ibu, Jeannie, mengatakan tak pernah memaksakan soal pilihan sang anak. Namun, karena setiap Minggu Momo dan kakaknya, Jivan Aruna, diajak ke Keraton Jogjakarta, mereka pun jatuh cinta pada jenis kesenian tersebut.