Asa Membara Jaga JFC
Mendengar Kota Jember disebut, ada satu hal yang ikonik. Jember Fashion Carnaval (JFC). Tahun ini, untuk kali pertama event tersebut digelar tanpa presiden sekaligus pendirinya, Dynand Fariz, yang meninggal April lalu. Regenerasi dan pergerakan dilakukan
Punya clothing line untuk anak-anak. Namanya DJOEKIDS.Brand tersebut dibuat karena dia sulit mencari baju yang cocok untuk anak laki-lakinya yang saat itu berusia 5 bulan. Kini anaknya berusia 3 tahun 8 bulan. ADALAH Intan Ayundavira, 31, yang kini menjabat event director JFC. Saat ditemui
Jawa Pos di Edelweiss Grand Ballroom, Jember, pada Sabtu (11/8), Intan sangat sibuk menyiapkan acara terakhir dari rangkaian JFC 2019. Yakni, awarding. Intan dan timnya tengah menata ballroom menjadi bernuansa Afrika. Tak jauh dari tema utama yang diusung JFC tahun ini. ’’Ada 123 yang dibagikan,’’ ujar Intan yang hari itu mengenakan kain etnik sebagai atasan plus face painting.
Sepeninggal Dynand, struktur organisasi JFC diubah. ’’Mas Fariz itu sosoknya strong banget. Dia the one and only presiden JFC. Kami di sini akan meneruskan perjuangannya, tapi untuk menjadi seperti Mas Fariz enggak mungkin,’’ jelas alumnus ESMOD Jakarta tersebut.
Intan ditunjuk menjadi event director,
posisinya berada di bawah Suyanto selaku CEO JFC. Intan bukanlah orang baru di JFC. Dia keponakan Dynand. ’’Seharusnya manggil beliau pakde. Cuma Mas Fariz maunya awet muda terus, anakku aja disuruh panggil Mas Fariz,’’ kata Intan, lantas tertawa. Intan bahkan berpartisipasi sebagai
talent sejak JFC pertama yang digelar Agustus 2003 lalu. Saat itu, Intan baru saja lulus SMP. Peran pertamanya kala itu sebagai mayoret. Mama, papa, pakde, dan budenya ikut turun ke jalan memperagakan kostum rancangan masing-masing.
’’Waktu itu defile-nya ada tiga: gipsi, koboi, sama punk. Pakde dan bude ikut yang gipsi, mamaku punk, aku sama papa koboi,’’ Saat masih kecil, Intan mencoba berbagai jenis seni karena suka. Sempat sangat ingin bisa bernyanyi dan bermain musik, tapi ternyata dia tidak berbakat. Akhirnya, dia memilih melukis. JFC membuka diri untuk berkolaborasi dengan lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah atau perguruan tinggi. Dengan begitu, ada kajian ilmiah mengenai dampak positif JFC. ceritanya. Sang mama berhasil menang kategori unique costume.
Meski belum menang, Intan mengaku sangat senang dengan pengalaman pertamanya itu. ’’Terserah mau menang apa enggak, tapi itu fun banget. Padahal, itu hujan deras, tapi kami tetap jalan,’’ kenangnya.
Kecintaan Intan terhadap seni kemudian disalurkan lewat bidang desain yang ternyata menjadi bakatnya. Sempat berkeinginan menjadi arsitek dan desainer interior, Intan akhirnya memilih jalur fashion design. Dia memperoleh beasiswa untuk belajar di ESMOD Jakarta.
Dari lulus SMP sampai sekarang, Intan tidak pernah sekali pun melewatkan JFC sebagai partisipan. Khusus tahun ini, menjalankan JFC tanpa sosok Dynand ternyata diakuinya berat. ’’Kesulitan terbesarnya itu bukan semangat yang hilang. Semangatnya terus hidup, bahkan lebih membara lagi,’’ urainya.
Kesulitan mencari dana, diakui Intan, menjadi tantangan utama. Dia bercerita, Dynand adalah penyandang dana terbesar JFC. Seluruh pendapatannya didedikasikan untuk JFC. ’’Mas Fariz enggak punya mobil dan rumah. Makan pun di warteg. Jujur aja,’’ ungkapnya.
Demi terlaksananya JFC 2019, akhirnya dibuka donasi mulai Mei lalu. ”Kami percaya JFC diawali dari niat baik. Apa pun yang diawali dari niat baik dan terus dijaga untuk menjadi hal yang baik, pasti Tuhan adakan jalannya,’’ tuturnya.