Jawa Pos

Down dan Sedih karena Dianggap Bukan dari Indonesia

Tujuh penari asal Surabaya unjuk gigi dalam ajang Dance Word Cup 2019 di Portugal akhir Juli lalu. Ada stereotipe khusus yang disematkan kepada mereka dari peserta lain serta penonton. Dan itu bikin Namun,

-

Penari Surabaya Berlaga di Ajang Dance World Cup 2019 Portugal

down. the show must go on.

HISYAM, Jawa Pos

KENANGAN dari ajang World Cup Dance di Braga, Portugal, pada 28 Juni–6 Juli 2019 masih melekat di benak Belva Hayu Aktanta dan enam temannya. Tergabung dalam grup dance Tydif, penari-penari asal Surabaya itu bersaing dengan tim dari negaranega­ra di seluruh dunia untuk memperebut­kan gelar juara.

Belva mengatakan, timnya memiliki kepercayaa­n diri yang tinggi bisa meraih juara. Namun, kepercayaa­n diri itu sempat meredup ketika ada stereotipe yang dilekatkan kepada mereka. ”Kami dikira tim dari Malaysia,” terangnya.

Kesannya sepele. Namun, itu bikin Tydif down. ”Sakit rasanya. Sedih campur kesal juga,” katanya. Anggapan tersebut tidak terlepas dari warna kulit dan postur tubuh para penari Indonesia yang serupa dengan penari Malaysia. Perempuan asal Asemrowo itu menyatakan, setiap disapa oleh peserta atau penonton, anggapan bahwa mereka berasal negeri jiran itu tidak pernah lepas.”Mereka langsung menganggap kita ini dari Malaysia’’ ungkapnya.

Padahal, Tydif mengenakan kostum yang berbeda jauh dari Malaysia. Kostum itu mengandung unsur Jawa, yaitu penggunaan kebaya

J

Tim Malaysia mengenakan baju adat yang sekilas mirip dengan baju adat Dayak. Gerakan tari yang dibawakan Tydif juga menyiratka­n budaya Nusantara.

Diaztiarni, pemilik sanggar tari Tydif yang ikut ke Portugal, menyebutka­n bahwa dirinya dan anak-anak didiknya memang langsung dianggap dari Malaysia kalau sedang berkumpul dengan peserta dari Eropa atau Amerika Serikat.

”Nama Malaysia memang lebih mentereng di ajang internasio­nal seperti ini. Karena kita ini samasama Melayu, jadi dianggap Malaysia juga,” ungkapnya. ”Rasanya sakit gimana gitu kalau langsung disapa, ’Are you from Malaysia?’,” kata Diaz, panggilan akrabnya, menirukan sapaan yang sering mereka terima. Namun, sakit di dada itu ditumpahka­n saat tampil di panggung. Mereka tampil all-out untuk mendapatka­n juara sehingga bisa mengibarka­n bendera Merah Putih di sana.

Dalam kompetisi yang melibatkan 20.000 pesaing rentang usia 4 hingga 24 tahun itu, Tydif turun di empat kategori. Mereka membawakan tarian Drung Baya, Arek Kampung Bulak, Jebing Melat, dan Greget Pasar Turi. Saat menari itulah, perbedaan antara tim Indonesia dan Malaysia terlihat.

”Kami menggunaka­n banyak gerakan dasar tari Jawa, mendak,” kata Diaz. Mendak adalah posisi ketika lutut ditekuk merendah saat menari. Posisi itu memiliki karakter khas dan membutuhka­n kekuatan. Menurut Diaz, hanya tim Indonesia yang memilikiny­a.

Niat Tydif untuk mengibarka­n bendera Merah Putih terkabul. Mereka mendapatka­n dua medali silver pada kategori grup dan duet. Juga peringkat keempat pada duet trio. ”Merah Putih berkibar. Kami terharu banget,” sambungnya.

 ?? TYDIF FOR JAWA POS ?? SUKSES: Tujuh penari Tydif menunjukka­n medali yang mereka peroleh dalam ajang Dance World Cup 2019 di Portugal.
TYDIF FOR JAWA POS SUKSES: Tujuh penari Tydif menunjukka­n medali yang mereka peroleh dalam ajang Dance World Cup 2019 di Portugal.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia