Waspadai Jakgung Titipan Partai
Rekam Jejak Para Kandidat Perlu Ditelusuri Ulang
JAKARTA, Jawa Pos – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menegaskan bahwa jaksa agung (Jakgung) periode mendatang dipilih dari unsur nonparpol. Meski demikian, Jokowi diminta untuk tetap menyeleksi secara ketat. Jangan sampai yang dipilih nanti memang bukan kader parpol, tapi punya kedekatan dengan partai tertentu. Jika orang titipan partai bisa lolos, profesionalitas kejaksaan bisa tetap terganggu.
Jaksa agung saat ini dijabat M. Prasetyo. Sebelum menjabat Jakgung, Prasetyo memang berkarir di kejaksaan
Setelah pensiun, dia bergabung dengan Partai Nasdem dan terpilih sebagai anggota DPR. Dia akhirnya mundur dari Senayan setelah ditunjuk Jokowi sebagai Jakgung pada 2014.
Meski Jokowi menegaskan bahwa Jakgung mendatang dipilih dari kalangan nonparpol, Partai Nasdem menyatakan tidak kecewa. Sekjen Nasdem Johnny G. Plate menyampaikan, jaksa agung memang harus berasal dari kalangan profesional. Bukan kader parpol. Bukankah jaksa agung saat ini, Prasetyo, adalah kader Nasdem? ”Pak Prasetyo itu keluarga besar Adhyaksa. Memang pernah menjadi kader, tetapi kan diberhentikan,” ucap Johnny saat dimintai konfirmasi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin (15/8).
Kini pihaknya mendukung penuh jaksa agung dari nonparpol. Menurut dia, sosok tersebut bisa berasal dari jaksa aktif, aparatur sipil negara (ASN), atau yang sudah pensiun. Bisa juga dipilih dari luar Korps Adhyaksa. Namun, yang bersangkutan harus tahu banyak tentang selukbeluk penegakan hukum.
”Siapa orangnya, kita tunggu saja. Nanti Pak Jokowi akan mengumumkan,” kata Johnny.
Meski demikian, Johnny meminta semua pihak untuk tidak membatasi Nasdem dalam mengusulkan calon pembantu presiden. Termasuk, usulan jaksa agung. Sebab, pihaknya adalah bagian dari Koalisi Indonesia Kerja (KIK) yang bertugas mengawal jalannya pemerintahan. ”Pak Jokowi tahu kok profesionalitas kader Nasdem. Masak kami tidak boleh usul? Semua diserahkan ke Pak Jokowi sebagai pemegang hak prerogatif,” kata anggota Komisi XI DPR itu.
Di bagian lain, politikus PDIP Effendi Simbolon mengatakan, Kejaksaan Agung memang sebaiknya lepas dari kepentingan semua partai. Harus murni independen. Tidak boleh terafiliasi dengan parpol. ”Jaksa agung harus dari profesional. Jangan ada embelembel kader partai. Harus waspadai juga titipan partai,” kata Effendi.
Selama ini, papar dia, semua partai di dalam KIK meminta Nasdem tidak mengincar kursi tersebut. ”Semua partai meminta itu. Tujuannya, agar penegakan hukum bagus,” tutur Effendi.
Sementara itu, Komisioner Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak menjelaskan, keinginan presiden untuk memilih jaksa agung dari nonparpol sangat tepat dan perlu didukung. Namun, perlu ada masukan yang bisa membuat keputusan itu menjadi lebih baik. Salah satunya, perlu dipertimbangkan calon jaksa agung dari internal kejaksaan. ”Karena karakteristik kejaksaan itu memerlukan orang yang berpengalaman dalam tugas teknis dan memahami kewenangannya,” paparnya.
Bila jaksa agung berasal dari luar, dibutuhkan waktu cukup lama untuk mempelajari kejaksaan. Apalagi, pejabat internal juga telah terseleksi sejak awal menjadi jaksa. ”Kinerja dan kompetensi teknis sudah teruji,” urainya. Yang juga penting, rekam jejak dan integritas calon jaksa agung perlu ditelusuri. ”Rekam jejak ini sangat penting,” paparnya.
Tjahjo Isyaratkan Pamit
Di tengah ramainya isu pembentukan kabinet, Mendagri Tjahjo Kumolo kemarin justru menyampaikan sikap berbeda. Dia mengisyaratkan pamit dari kabinet periode saat ini. Isyarat itu tampak saat dia ditemui wartawan setelah melantik Sekjen Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu di kantor Kemendagri.
Tjahjo mengawali pernyataannya dengan menyebut bahwa pemilihan menteri sepenuhnya wewenang presiden dan wakil presiden. Selain itu, Tjahjo menegaskan bahwa dirinya adalah kader partai. Karena itu, yang menilai dirinya adalah presiden dan ketua umum PDIP. ”Kalau partai tidak mengusulkan saya, ya Pak Jokowi kemungkinan tidak mengambil saya,” terangnya.
Dia menerangkan, ada proses pemilihan menteri asal parpol, di situ presiden mendengar masukan dari pimpinan partai. Setiap kader parpol yang akan diusulkan sebagai menteri punya dua filter penilaian. Pertama, dari ketua umum. Kedua, dari presiden selaku pengguna. ”Beda dengan (menteri) profesional. Itu sepenuhnya hak prerogatif presiden,” lanjut mantan Sekjen PDIP tersebut.
Disinggung mengenai isyarat pamit itu, Tjahjo enggan menjawab lugas. Dia hanya mengingatkan bahwa masa jabatan Kabinet Indonesia Kerja periode pertama akan habis dalam waktu dekat. Karena itu, para pejabatnya pun akan pamit untuk periode ini. Apakah akan direkrut lagi pada periode berikutnya, itu urusan lain.
Tjahjo menegaskan, dirinya akan taat pada instruksi Presiden Jokowi dan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. ”Apa kata Ibu Mega, Tjahjo, cukup. Ya siap. Atau Pak Jokowi mengatakan cukup, ya siap juga,” tambahnya. Atau bila hendak ditugaskan ke tempat lain, dia hanya bisa mengiyakan dan melaksanakan. Prinsipnya, dia akan tetap loyal kepada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Kriteria Menteri Investasi
Selain soal Jakgung, kabinet mendatang akan diisi menteri baru. Yakni, menteri investasi. Wakil Direktur Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef ) Eko Listiyanto mengatakan, untuk menteri investasi, harus dipilih sosok yang mampu mempromosikan potensi Indonesia ke level internasional. Menurut Eko, skill set tersebut sangat penting. Sebab, saat ini kondisi perekonomian berada pada persaingan yang sangat ketat, termasuk bagi negara berkembang seperti Indonesia. ”Diperlukan kemampuan birokrasi dan persuasif yang baik. Dalam konteks diplomasi ekonomi, pasti ada kendala teknis,” tutur Eko saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Selain itu, menteri investasi harus tahu situasi investasi domestik. ”Sebab, investasi asing itu kan bisa dibilang pelengkap. Jadi, tetap harus punya pengelolaan yang baik terhadap investor lokal,” tambah Eko.
Saat disinggung nama-nama yang sering mencuat untuk duduk di kursi menteri bidang ekonomi, misalnya Erick Thohir, Rosan Roeslani, dan Bahlil Lahadalia, Eko menyebut nama-nama itu memang sangat kapabel. ”Pak Erick misalnya. Beliau businessman yang sukses. Pak Rosan dan Pak Bahlil, keduanya merupakan ketua asosiasi pengusaha yang juga andal,” beber Eko.
Juga, tak tertutup kemungkinan munculnya figur milenial seperti Nadiem Makarim dan Achmad Zaky. Eko menganggap sosok muda pemilik start-up tersebut tak kalah potensial untuk mengisi kursi menteri. ”Anak-anak muda itu malah mungkin punya terobosan baru yang belum pernah dipikirkan sebelumnya,” urai Eko.
Namun, yang menjadi catatan, saat yang menjabat kursi menteri adalah profesional yang masih memiliki bidang usaha tertentu, figur tersebut harus bisa mengedepankan kepentingan negara tanpa terganggu kepentingan lain.