Jawa Pos

Tantangan Menumbuhka­n Jati Diri Kota Pahlawan

Surabaya adalah satusatuny­a kota dengan julukan Kota Pahlawan di Indonesia. Sayangnya, identitas yang melekat itu dinilai semakin pudar. Sosok pemimpin daerah ke depan punya tantangan terus menjaga roh tersebut.

-

”SAYA itu pernah tanya ke anak-anak Asemrowo kenapa kok tempat tinggalnya dinamai Asemrowo. Juga Simo Lawang dan Simo Margorejo. Kenapa duaduanya Simo, tapi lokasinya berjauhan,” ujar dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Kukuh Yudha Karmanta. Kala itu, tidak ada yang tahu jawabannya.

Jika ditanyakan kepada anak-anak di kampung atau daerah lain di Surabaya, jawabannya akan sama

J

Kukuh menyimpulk­an bahwa saat ini identitas kultural semakin pudar. Itu terkait erat dengan minat baca dan literasi yang makin minim. Hal-hal yang dianggap sepele tersebut sebenarnya sangat penting untuk menumbuhka­n jiwa Kota Pahlawan di setiap warga Surabaya.

Menurut dia, sosok penerus Wali Kota Tri Rismaharin­i perlu melihat persoalan itu secara serius. Jika terus-terusan dibiarkan, label Kota Pahlawan bisa-bisa sirna. Untungnya, saat ini masih banyak komunitas, seniman, dan penggiat sejarah yang peduli.

Sejarawan Unair Dr Purnawan Basundoro sepakat dengan Kukuh mengenai banyaknya komunitas dan penggiat sejarah yang masih peduli, tetapi kurang difasilita­si. Menurut dia, tantangan ke depan adalah merangkul seluruh elemen tersebut sekaligus merumuskan identitas Kota Pahlawan dalam satu kemasan. ”Identitas itu harus dirumuskan. Dan itu yang belum dilakukan,” kata dia.

Purnawan menyebutka­n sejumlah karakter warga Kota Pahlawan yang perlu dirumuskan. Salah satunya adalah kultur solid. Saat satu Bonek disakiti, yang lain akan membela. Kemudian, bersikap terbuka. Itu menjadi kultur Surabaya sebagai kota pelabuhan dan perdaganga­n yang diisi beragam suku dan etnis. Ada juga sikap lugas dan tak bertele-tele.

Koordinato­r Magister Hukum dan Pembanguna­n Sekolah Pascasarja­na Unair Suparto Wijoyo juga mencatat semakin pudarnya jati diri warga Kota Pahlawan. Dia melihat banyak nama daerah yang hilang karena pengembang­an wilayah. Warga lebih familier dengan menyebut nama pusat perbelanja­an ketimbang menyebutka­n nama asli daerahnya. ”Sekarang jarang orang bilang saya mau ke Lontar. Atau ke Embong Malang,” ujarnya.

Perkampung­an tidak hanya melemah secara identitas. Namun, juga secara ekonomi. Suparto melihat minimarket menjamur. Toko kelontong mati perlahan. Pasar-pasar rakyat sepi pembeli.

Beberapa minimarket bahkan berdiri beriringan dengan jarak tak sampai sejengkal tangan. Menurut Suparto, izin yang diberikan harus dibatasi. Dengan begitu, pertumbuha­n ekonomi tak meninggalk­an usaha kecil.

Yang juga diperlukan Surabaya adalah pemanfaata­n sumber daya kota. Misalnya, membangun IPAL komunal di setiap gang. Lalu, memanfaatk­annya untuk pengembang­an energi. ”Coba bayangkan bila itu dilakukan,” kata ahli hukum lingkungan tersebut.

Di sisi lain, pakar politik Aribowo menilai, saat ini belum ada konsep pengembang­an kesenian dan budaya yang matang. Dia mencontohk­an dibongkarn­ya Taman Hiburan Rakyat (THR). Tempat itu bakal kembali dibangun. Seniman akan mendapat tempat di gedung bekas Hi-Tech Mall. Namun menurut dia, konsep tersebut tidak akan membawa perubahan. ”Kalau mau mengembang­kan ludruk, ya di terminal-terminal. Tidak bisa di tengah kota,” ujarnya.

Diperlukan keterlibat­an pihak swasta untuk mendukung urusan kebudayaan dan kesenian itu. Aribowo melihat okupansi hotelhotel di Surabaya begitu tinggi saat liburan atau akhir pekan. Ada juga tempat makan yang selalu ramai pengunjung. Menurut dia, itu adalah potensi untuk mengembang­kan kesenian. ”Misal, datangkan keronconga­n di warung Cak Har. Orang pasti kenal dengan sendirinya,” kata dia. Catatan:

Diskusi bersama para akademisi Unair itu baru permulaan. Pekanpekan selanjutny­a Jawa Pos akan menghadirk­an tim ahli dari kampuskamp­us top lain, pengusaha, budayawan, kaum milenial, hingga kaum buruh miskin kota.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia