Bahasa Indonesia setelah 74 Tahun Merdeka
18 NOVEMBER 1667. Di sebuah kampung bernama Bungaya (kini masuk wilayah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan), Sultan Hasanuddin bersedia menandatangani perjanjian damai dengan Kompeni (sebutan untuk VOC di Makassar). Perjanjian itu dinamai Cappaya ri Bungaya yang berarti Perjanjian Bungaya.
Orang-orang Belanda menamainya Het Bongaais Verdrag
–yang jika dilafalkan akan berbunyi bonkhais verdrag
Orang-orang Belanda semestinya tetap menyerap Bungaya
secara utuh. Sebab, kata tersebut merupakan nama lokasi. Akibatnya amat hebat. Nama kampung yang bersejarah, Bungaya, mengalami salah tulis dan salah eja. Ada sejarawan Indonesia yang menggunakan Perjanjian Bongaya, ada yang memakai Perjanjian Bonggaya. Mereka meniru habishabisan penyebutan ala londo
tanpa berusaha mencari sebutan yang tepat.
Dalam bahasa Makassar, -ya
tergolong ”bentuk terikat” yang semakna dengan si, sang, atau yang dalam bahasa Indonesia. Bungaya dalam bahasa Makassar berarti sang bunga dalam bahasa Indonesia atau bloem dalam bahasa Belanda.
Adapun bongaya berarti yang diguraukan, yang dibualkan, atau yang dikelakarkan. Di sisi lain, bonggaya dalam bahasa Indonesia berarti paha. Silakan ditilik, betapa jauh makna bergeser dari arti asalnya. Semua bermula dari tabiat membeo kita.
Nasib yang menimpa Perjanjian Bungaya juga melanda bahasa Indonesia bahkan setelah Indonesia berusia 74 tahun. Ketika beberapa wilayah di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten gelap gulita atau kelam kelimut garagara listrik padam, media massa –daring dan luring– beramairamai memajang blackhole.
Pewarta sebagai salah satu ujung tombak pelestari bahasa Indonesia mendadak pikun dan lupa bahwa bahasa Indonesia sudah punya lubang hitam selaku padanan blackhole. Entah karena lubang hitam kurang gereget, entah karena blackhole jelas nginggris.
Tatkala copras-capres sedang ramai-ramainya, jurnalis berlomba memakai kata kontestasi sampai-sampai yang tidak terkait dengan pilpres pun serta-merta disebut kontestasi. Ambil contoh kemunculan istilah kontestasi politik dan kontestasi elite. Padahal, kita dapat memilih diksi percaturan politik selama yang kita maksudkan masih seputar persaingan di kancah politik (yang belum tentu pertarungan dua atau beberapa calon dalam memperebutkan posisi atau jabatan politis).
Selain kontestasi, ingar bingar hoax juga sangat gencar sepanjang perhelatan Pemilu 2019. Sekalipun kata tersebut sudah kita serap menjadi hoaks, tidak sedikit wartawan yang bersikukuh menggunakan kata hoax.
Padahal, kita sudah punya kabar angin atau kabar burung
apabila berita yang tersebar masih sebatas isu atau desasdesus. Jika hoaks yang dimaksudkan adalah ”kabar tidak benar yang sengaja diembuskan dengan tujuan tertentu”, kita bisa memakai gabungan kata berita bohong. Kata bohong jelas sudah sangat tedas, tegas, dan tandas.
Nahasnya, nasib bahasa persatuan kita masih mengenaskan. Kadang penggunanya sendiri yang serampangan memakai istilah asing. Istilah asing dicampuradukkan sesuka hati.
Bahkan, ada segelintir penutur yang merasa minder memakai bahasa Indonesia. Tidak heran kalau acara televisi, tajuk kegiatan, nama gedung, atau nama perumahan memakai bahasa asing.
Di Jakarta, misalnya, marak penamaan tempat yang berbahasa asing. Pondok Indah Mall, sekadar contoh, berani memakai kata pondok di jantung kota, tetapi tidak taat asas. Semestinya Mal Pondok Indah. Belum lagi tabiat pewara di radio dan televisi yang gemar menggado-gadokan bahasa.
Akibatnya, ada beberapa pewara yang keseleo lidah. Penampilan peserta tidak boleh kontroversi. Padahal, kontroversial. Kasus lain: Tolong paparkan kronologisnya. Padahal, yang tepat ialah kronologi.
Sungguhpun Indonesia sudah merdeka selama 74 tahun, karutmarut pemakaian bahasa Indonesia tidak kunjung reda. Dulu leluhur kita mati-matian memperkaya bahasa Indonesia, sekarang kita habis-habisan memiskinkannya. Tragis, sebab bahasa persatuan kita tak kunjung merdeka di negerinya sendiri.
Jika terus begitu, bunga akan terus kita sangka bual.