Jawa Pos

Dada Bergemuruh setelah Melihat Merah Putih Naik

Perubahan sikap putra Amrozi terjadi setelah dia diminta menjadi petugas pengibar bendera. Kini dia berkomitme­n total untuk terlibat dalam kegiatan deradikali­sasi.

- KARDONO SETYORAHMA­DI, Lamongan, Jawa Los

NAMANYA menjadi buah bibir pada 11 November 2008 di Solokuro, Tenggulun, Lamongan. Ketika itu semua media menempatka­n krunya di sana

Saat itu pemerintah baru saja mengekseku­si trio pelaku bom Bali I, Amrozi, Ali Ghufron alias Mukhlas, dan Imam Samudera, di Pulau Nusakamban­gan.

Dua di antaranya, Amrozi dan Mukhlas, adalah dua bersaudara asal Tenggulun, Lamongan.

Setelah eksekusi pada dini hari, jenazah Amrozi dan Mukhlas dibawa pulang dengan helikopter. Jenazah tiba pagi harinya dan Zulia Mahendra, putra Amrozi, termasuk yang menyambut. Dia membuka dan mengelus kepala bapaknya tersebut. Tiba-tiba saja dia marah. Lantas membuat spanduk bertulisan: ”Saya akan meneruskan jalan abi.”

Mahendra kemudian berlari keluar dan membentang­kan spanduk itu di hadapan para wartawan. Wajahnya mengeras, seperti membulatka­n tekad. Semua yang ada di situ mengira bahwa satu generasi baru jihadis telah lahir.

Tapi, semua manusia bisa berubah. Bukannya menjadi teroris, Mahendra justru bermetamor­fosis ke jalan yang lebih baik ketimbang jalan yang dipilih bapaknya.

***

”Saat itu saya memang sedang emosional. Ya, masih mencari jati diri gitu.” Demikian pengakuan Mahendra, mengenang kisah sebelas tahun lalu itu.

Hubungan Mahendra dengan Amrozi memang kompleks. Tak seperti hubungan antara bapakanak pada umumnya. Saat Mahendra berusia 2 bulan, orang tuanya berpisah. ”Boleh disebut saya adalah anak broken home.”

Mahendra ikut ibunya dan tinggal di Tuban, sedangkan Amrozi tetap di Lamongan. Kendati demikian, Mahendra tak lantas tidak pernah berkomunik­asi dengan Amrozi.

Keduanya justru berjumpa di dunia road race. Mahendra adalah pembalap amatir road race, sedangkan Amrozi adalah mekanik jempolan yang menukangi klub motor amatir. ”Seringnya ketemu justru di sirkuit. Kami berbeda tim,” kisahnya.

Jika bertemu, ungkap Mahendra, komunikasi­nya berlangsun­g tidak seperti kepada bapak. ”Lebih seperti ke teman. Isine guyon tok (isinya bercanda melulu, Red),” terangnya.

Tidak pernah ada petuah-petuah khusus yang religius misalnya. Mahendra juga mengaku kerap bertandang ke rumah bapaknya. Isinya penuh dengan peralatan mekanik. ”Saat di sana abi (bapak, Red) juga meminta tidak menyentuh beberapa benda tertentu. Mungkin bom, tapi saya tidak tahu itu.”

Mahendra sendiri mengaku tidak terlalu tahu dengan pilihan bapaknya menjadi jihadis. Atau diajak masuk menjadi anggota Jamaah Islamiyyah (JI). ”Hanya, pernah ditunjukka­n foto abi dengan pakde (Mukhlas, Red) saat di Malaysia. Keduanya mengenakan pakaian gamis,” katanya.

Mukhlas adalah anggota senior JI yang menjadi salah satu pentolan di Mantiqi I JI dengan wilayah Malaysia dan Sumatera. Di Indonesia JI membagi wilayah teritorial­nya dengan tiga mantiqi.

Mantiqi I meliputi wilayah Malaysia dan Sumatera dan berfungsi sebagai penyuplai dana serta basis ekonomi. Mantiqi II meliputi Jawa dan Kalimantan sebagai basis perekrutan, sedangkan Mantiqi III meliputi Indonesia Timur dan menjadi basis pertempura­n. Tak heran jika dalam konflik AmbonPoso ditemukan keterlibat­an JI.

Setelah penangkapa­n bapaknya, kehidupann­ya berubah. Masyarakat langsung mengucilka­nnya.

Setelah lulus SMA, dia juga ditolak bekerja di mana-mana dengan latar belakang sebagai ”anak Amrozi” atau ”anak teroris”. ”Saya seolah menjadi najis,” katanya.

Mahendra baru merasakan kedekatan bapak-anak justru ketika sering menjenguk ke Nusakamban­gan. Hubungan mereka jadi lebih akrab. Sisi kebapakan Amrozi justru muncul. ”Petuah-petuah gitu. Tapi, tidak pernah ada ajakan untuk meneruskan jalan yang dipilih abi. Malahan, abi berpesan agar mencari jalan sendiri,” kenangnya.

Mahendra sempat meminta pamannya, Ali Fauzi, mengajari membuat bom. ”Tapi, dia (Ali Fauzi, Red) selalu menghindar.

Nggak mau ngajarin,” katanya. Ali Fauzi adalah bekas kepala instruktur pembuatan bom Mantiqi II. Namun, saat itu Ali Fauzi sudah ”bertobat” dan menjadi aktivis deradikali­sasi. Tentu saja Ali Fauzi tidak mau mengajari.

Mahendra lalu mempelajar­i perakitan senpi. Namun, upayanya tersebut selalu terbentur ketiadaan biaya. Dia harus bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri.

Maka, rencana balas dendamnya pun tertunda karena dia harus bekerja. Mulai menjadi operator warnet, berjualan ayam tepung di kampung-kampung, hingga akhirnya mendirikan usaha kontraktor kecil-kecilan.

Di waktu yang bersamaan, Ali Fauzi juga terus mendekat untuk menderadik­alisasi keponakann­ya tersebut. Pertama dimasukkan grup keluarga. ”Ada saja caranya untuk mendekatka­n saya,” ucapnya.

Menggunaka­n ikatan keluarga, Ali Fauzi mulai menderadik­alisasi keponakann­ya tersebut. Hingga pada 2017 Ali Fauzi dengan Yayasan Lingkar Perdamaian yang didirikann­ya membuat upacara bendera yang semuanya dilakukan dari dan oleh para napi teroris (napiter).

Ali Fauzi memplot Mahendra sebagai pengibar bendera. Karena ikatan keluarga sudah lumayan dekat, Mahendra sungkan untuk menolak.

Namun, semuanya berubah ketika Mahendra menaikkan Sang Saka Merah Putih. Ketika baru separo tiang, tiba-tiba dada Mahendra seakan bergemuruh. Kelibatan bayangan ayahnya, kilasankil­asan hidup yang dijalaniny­a, membuat semua dendamnya luruh.

Mata Mahendra pun berkacakac­a. Segumpal perasaan yang tak bisa dijelaskan­nya tiba-tiba membuat dia terlahir sebagai orang baru. ”Setelah itu semuanya berubah,” katanya.

Mahendra memutuskan untuk sepenuhnya mendukung Yayasan Lingkar Perdamaian pamannya tersebut. Dia juga memutuskan untuk total melakukan deradikali­sasi. Membantu para napiter untuk tidak kembali ke jalan kekerasan. ”Juga menjadi pasukan pengibar bendera,” katanya lalu tersenyum. Tahun ini menjadi tahun ketiganya sebagai pengibar bendera.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia