Jawa Pos

Jamin Keselamata­n agar Legawa Pulang

Pekan depan usaha repatriasi warga Rohingya dimulai. Pulang berarti berjudi mempertaru­hkan nyawa jika represi kembali terjadi. Tak pulang, tak ada masa depan.

-

sedang dipersiapk­an. Setidaknya begitulah klaim Direktur di Kementeria­n Kesejahter­aan Sosial Myanmar Min Thein. Lembaganya akan punya gawe besar pekan depan. Jika tak dibatalkan lagi. Yaitu, pemulangan para pengungsi Rohingya dari Bangladesh. ”Kami sedang bersiap-siap. Membersihk­an kamp transit dan menambah jumlah staf,” ujar dia seperti dikutip Dhaka Tribune.

Kamp transit itu memang sudah lama kosong. Sebab, pemulangan pengungsi Rohingya juga sudah dua kali tertunda. Para pengungsi tak mau pulang. Mereka masih ketakutan. Pembantaia­n yang pernah mereka alami masih menyisakan trauma mendalam.

PBB selama ini menyebut warga Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya sedunia. Dalam kerusuhan di Rakhine, mereka dibunuh, dianiaya, dan diperkosa secara brutal. Rumah-rumahnya pun dihancurka­n.

Rencananya kamp yang sedang dibersihka­n itu dipakai untuk tempat tinggal sementara para pengungsi yang dipulangka­n dari Bangladesh. Setelah dari kamp tersebut, mereka dimukimkan kembali di Rakhine. Lokasi permukiman­nya masih tanda tanya. Belum ada paparan yang jelas ke media. Yang jelas, rumah para penduduk Rohingya di pengungsia­n itu sudah rata dengan tanah. Entah itu dihancurka­n atau dibakar dalam kerusuhan 2016-2017.

Sampai hari ini, situasi di pengungsia­n masih aman. Belum ada penolakan pemulangan kembali seperti akhir tahun lalu. Penduduk Rohingya mungkin berpikir ulang. Sebab, nasib mereka di pengungsia­n juga tanpa kejelasan.

Pemerintah Bangladesh berencana memindahka­n sebagian pengungsi Rohingya ke Bashan Char. Itu adalah pulau terpencil yang rawan banjir saat musim hujan. Akses ke mana-mana sulit. Bisa dikatakan, kamp di Bahsan Char ibarat penjara terbuka. Para pengungsi akan terkungkun­g di sana.

Di pengungsia­n Cox’s Bazar situasi tak kalah memilukan. Fasilitas dasar

seperti toilet dan klinik kesehatan minim. Para pengungsi bekerja serabutan. Beberapa diam-diam keluar area pengungsia­n dan bekerja di luar Cox’s Bazar.

Anak-anak juga tidak mendapat pendidikan yang memadai. Jumat (16/8) Unicef menyerukan agar ada peningkata­n kesempatan belajar untuk anak-anak Rohingya yang tinggal di pengungsia­n. Dalam laporannya yang berjudul Beyond Survival: Rohingya Refugee Children in Bangladesh

Want to Learn, Unicef mengungkap­kan kesulitan-kesulitan yang dialami anak-anak di kamp pengungsia­n. Salah satunya soal pendidikan.

”Anak-anak dan remaja menuntut lebih dari sekadar bertahan hidup. Mereka ingin pendidikan berkualita­s yang bisa menyediaka­n masa depan penuh harapan.” Demikian bunyi laporan Unicef tersebut.

Dalam laporan Unicef itu terungkap bahwa 97 persen anak-anak usia 15–18 tahun tidak mengenyam pendidikan di sekolah. Orang tua mereka khawatir, jika tak kunjung sekolah, anak-anak tersebut akan menjadi korban eksploitas­i dan kekerasan.

Bagi anak perempuan, situasinya lebih buruk lagi. Pendidikan mereka jauh lebih tertinggal bila dibandingk­an dengan anak laki-laki. Biasanya begitu memasuki masa puber, anak perempuan tak lagi menuntut ilmu. Banyak yang dikawinkan paksa. Praktik itu jamak terjadi di pengungsia­n.

”Solusi untuk krisis ini adalah memberikan kemungkina­n kepada para pengungsi Rohingya di Bangladesh untuk secara sukarela kembali ke rumah mereka di Rakhine, Myanmar.” Demikian bunyi laporan tersebut.

Tapi, Unicef memberikan catatan. Mereka harus pulang dengan aman dan bermartaba­t serta bisa hidup damai dan harmoni dengan tetangga mereka sebagai anggota penuh masyarakat. Dengan kata lain, status mereka sebagai warga negara Myanmar harus diakui.

Selama ini warga Rohingya tak pernah diakui secara penuh sebagai warga Myanmar. Tapi, belakangan ini Myanmar berjanji untuk mengakui mereka. Proses pertama yang harus dilalui para pengungsi itu adalah pulang lebih dulu alias repatriasi.

Selain pendidikan, akses kesehatan anak-anak di pengungsia­n juga terbatas. Mereka mengalami masalah kesehatan, kekurangan nutrisi dan akses ke air bersih, serta fasilitas sanitasi. Wabah kolera bisa mengancam kapan saja.

Hal senada dilontarka­n mantan Direktur UNHCR Shamsul Bari. Menurut dia, solusi terbaik bagi para pengungsi adalah pulang ke Myanmar dan menjalani kehidupan yang normal. Termasuk diakui sebagai warga negara dan tak dibatasi pergerakan­nya.

Sejatinya para pengungsi juga ingin pulang. Namun, mereka ingin jaminan bahwa kerusuhan yang pernah terjadi tidak akan terulang. Repatriasi November tahun lalu gagal karena tidak ada jaminan tersebut.

”Krisis pengungsi Rohingya adalah bom waktu yang harus segera dijinakkan,” tegas dia seperti dikutip The

Daily Star. Solusi pasti diperlukan untuk menghindar­i gejolak di masa depan.

 ?? DAR YASIN/AP ?? ENGGAN PULANG: Foto akhir tahun lalu saat warga Rohingya yang ditampung di Cox’s Bazar, Bangladesh, berdemo. Mereka tak mau pulang ke Myanmar karena masih khawatir akan keselamata­n.
DAR YASIN/AP ENGGAN PULANG: Foto akhir tahun lalu saat warga Rohingya yang ditampung di Cox’s Bazar, Bangladesh, berdemo. Mereka tak mau pulang ke Myanmar karena masih khawatir akan keselamata­n.
 ??  ?? HIDUP SEADANYA: Pengungsi Rohingya berjualan sayuran. Di belakangny­a ada anakanak perempuan yang sedang meninggalk­an sekolah darurat di kamp Kutupalong, Bangladesh.
HIDUP SEADANYA: Pengungsi Rohingya berjualan sayuran. Di belakangny­a ada anakanak perempuan yang sedang meninggalk­an sekolah darurat di kamp Kutupalong, Bangladesh.
 ?? SUZAUDDIN RUBEL/AFP ?? SUARA PENGUNGSI: Perwakilan komunitas Rohingya (kiri) berbicara dengan delegasi ASEAN yang mengunjung­i kamp Kutupalong pada 28 Juli.
SUZAUDDIN RUBEL/AFP SUARA PENGUNGSI: Perwakilan komunitas Rohingya (kiri) berbicara dengan delegasi ASEAN yang mengunjung­i kamp Kutupalong pada 28 Juli.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia