Ada Jogja dalam Srimenanti
Memanjangkan puisi menjadi novel bukan perkara gampang. Tidak semua penyair bisa. Tapi, Joko Pinurbo menjadikan pekerjaan berat itu seolah mudah.
JOKO Pinurbo (Jokpin) menuliskan nama Sapardi Djoko Damono pada lembar pertama novel perdananya,
Srimenanti. Dengan bangga dia mengakui bahwa Srimenanti lahir dari Pada Suatu Pagi Hari.
Itu puisi Sapardi. Srimenanti yang lantas menjadi tokoh utama novel Jokpin adalah perempuan dari sajak yang digubah Sapardi pada 1973 itu. Jokpin juga menyebut Srimenanti sebagai sosok dewasa perempuan yang mengilhami Sapardi menciptakan syair Gadis Kecil.
Sebagai penyair, atau istilah buku itu sekutu puisi, Jokpin tentu tidak bisa jauh-jauh dari sajak. Novel bersampul biru tersebut sarat diksi indah. Juga lucu. Seperti Jokpin yang suka humor.
Tuan Eltece misalnya. Alih-alih menuliskannya LTC sebagai singkatan dari Lelaki Tanpa Celana, dia menuliskannya secara alay menjadi eltece. Atau frasa ”pepet terus, jangan kendor” yang muncul pada bait ketiga puisi di halaman 95.
Another pilihan alay terdeteksi pada kalimat yang Jokpin tuliskan pada lembar terakhir bukunya. ”Berlima dengan uwuwu.” Kalimat yang terdiri atas tiga kata itu sukses menampilkan Jokpin dalam radar pertemanan anak masa kini. Srimenanti Joko Pinurbo PT Gramedia Pustaka Utama April 2019 138 halaman
Bahkan, seorang teman yang tinggal jauh dari kota sampai menanyakan kepada saya apa arti kata uwuwu itu. Padahal, secara usia, seharusnya dia lebih memahami terminologi bahasa generasi digital tersebut.
Saat kali pertama mendengar Jokpin menulis novel, saya langsung membayangkan bacaan yang njelimet. Saya teringat Pingkan Melipat Jarak, novel kedua trilogi Hujan Bulan Juni milik Sapardi.
”Memanjangkan” puisi menjadi novel memang bukan pekerjaan gampang. Meski puisinya sepopuler Pada Suatu Pagi Hari atau Celana sekalipun. Lebih tinggi potensi gagal ketimbang berhasilnya.
Namun, menurut saya, Jokpin berhasil dalam Srimenanti. Dia sukses menghadirkan Srimenanti sebagai tokoh novel dengan sifat-sifat puisi yang melekat. Melankolis dan nyentrik. Seperti sosok dalam puisi Sapardi yang sendirian menyusuri lorong sambil menunduk, menyembunyikan duka, dan tidak berkawan dengan kebisingan.
Frasa ”menyusuri lorong” membuat ingatan saya terlempar ke Sagan awal 2000-an. Di permukiman padat penduduk yang tidak jauh dari kampus saya di Karangmalang, Jogjakarta, itu, ada banyak lorong.
Tiap hari, untuk berangkat dan pulang kuliah, saya menyusuri lorong. Memang tidak selalu menunduk. Tapi, berjalan di lorong memang paling pas jika dilakukan dengan kepala tertunduk.
Novel 138 halaman itu mengalir. Tuntas dibaca dalam sekali duduk dan menyisakan kesan mendalam di hati. Hampir tanpa ”tapi”. Kecuali beberapa bridging yang kurang halus.
Pembaca rawan tersandung dan terpaksa mengulang dari awal jika tidak benar-benar memperhatikan bacaannya. Meskipun Jokpin sebenarnya sudah memisahkan kisah Srimenanti dan sang penyair sebagai tokoh utama lelaki. Dia menghadirkan episode mereka secara berselingan dalam tiap bab yang tidak ditandai dengan angka Romawi atau judul.
Dalam novel ini, Jokpin juga menghadirkan teman-temannya sesama seniman. Jangan kaget, penulis memang bisa semena-mena hehehe.
Memasukkan siapa saja dalam paparan fiksinya dan memberi mereka peran apa saja. Mungkin bagi mereka yang namanya tercantum dalam novel itu, Srimenanti tak ubahnya reuni. Ada Butet (Kartaredjasa), Djaduk (Ferianto), Yusi (Avianto Pareanom), Aan (Mansyur), Faisal (Oddang), dan tentu saja Sapardi.
Jokpin juga menampilkan kekhasan bidang mereka dalam karyanya. Termasuk sindiran. Misalnya Butet yang dia tuliskan sebagai bintang film. Dia juga memunculkan Warung Bu Ageng dalam bukunya. Lagi-lagi, yang disindir tentu saja Butet.
Dalam Srimenanti, Jokpin menggambarkan Sapardi sebagai sastrawan besar yang nyentrik dan cenderung sombong. Dalam arti susah ditemui. Bahkan, saat tokoh utama lelaki dalam buku itu sudah sampai di depan rumahnya dan bertemu langsung dengan Sapardi, penyair 79 tahun tersebut tetap tidak mau menerimanya sebagai tamu.
Jika sebagian orang mengimani rumusan Jokpin bahwa Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan; tidak demikian saya. Bagi saya, Jogja adalah Jokpin. Srimenanti, novel perdana penyair kelahiran Sukabumi itu, menjadi buktinya. Ada Jogja dalam Srimenanti. (*) Wartawan Jawa Pos