Hanya Butuh Dibawakan Minuman dan Kata-Kata Penyemangat
Chou Tien-chen memang unik. Di usia menjelang kepala tiga, pemain Taiwan itu justru makin matang. Dia datang ke kejuaraan dunia berbekal dua gelar bergengsi: Indonesia Open dan Thailand Open. Dia jadi penantang kuat di tunggal putra. Rahasianya: Victoria
PEREMPUAN berkacamata dengan potongan rambut bob itu selalu mendampingi Chou Tien-chen di tepi lapangan. Dia mendatangi Chou ketika interval atau pergantian game. Memberinya ’’instruksi’.’ Dia menghambur ke lapangan ketika Chou menang. Memeluknya erat-erat, melonjak-lonjak kegirangan, dan menangis haru. Seperti saat pemain 29 tahun itu menjuarai Indonesia Open bulan lalu.
Perempuan tersebut bukan pelatih Chou. Bukan pula mamah-nya. Dia adalah Victoria Kao, fisioterapis Chou. Perannya di lapangan simpel saja. Karena bukan pelatih, dia lebih bertugas melayani sang pemain. Mengambilkan minum, handuk, atau baju ganti.
Inilah yang bikin Chou berbeda dengan pemain top lain. Di jajaran 16 besar, tidak ada pemain yang tidak didampingi pelatih saat bertanding. Kecuali Chou. Pemain nomor dua dunia itu bermain dengan taktik canggih. Dia bisa mengubah pola permainan di tengah-tengah game. Bergantung kebutuhan. Ini membutuhkan fisik prima. Mengingat dia baru saja juara di dua turnamen level tinggi, pendekatan ala Chou itu tampaknya berhasil.
’’Dalam pertandingan, aku butuh fokus untuk mendapat poin. So, itu bukan soal pelatih. Itu bergantung saya sendiri,’’ ungkap Chou kepada situs resmi BWF. ’’Pelatih berbicara tentang masalahmasalahmu. Aku tahu problemku sendiri. Begitulah caraku meningkatkan permainan,’’ lanjutnya.
Daripada pelatih, Chou punya sparring partner yang bepergian dengan dia sejak Februari lalu. Dia memercayai instingnya sendiri untuk membaca pertandingan. Dengan begitu, dia bisa memutuskan mau berlatih seperti apa.
Kao, yang mendampingi Chou sejak 2012, mengatakan, Chou bukannya tidak pernah mencoba mencari pelatih. ’’Tapi, setelah kami seleksi dan seleksi, dia berpikir bahwa dia bisa mengurus dirinya sendiri. Itu pilihan dia. Karena dia percaya pada Tuhan,’’ papar Kao. ’’Dia percaya bahwa keyakinan bisa membantunya berjuang. Itu sangat spesial,’’ kata Kao.
Lalu, kalau Kao bukan pelatih, apa yang dia katakan kepada Chou di lapangan?
’’Hanya kata-kata penyemangat,’’ ungkapnya. ’’Kamu kepengin ganti baju? Ingin makan sesuatu? Atau minta dibawakan minuman energi? Aku terapis fisik, bukan pemain,’’ imbuhnya.
Kalau pelatih biasanya berlama-lama memberikan instruksi, Kao selalu menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Itu dilakukan agar Chou bisa kembali fokus memikirkan pertandingan. ’’Alasan dia mau saya duduk di kursi pelatih itu karena dia bisa fokus. Itu yang paling penting buat dia,’’ lanjut Kao.
Chou, tidak seperti para pemain top tunggal putra yang merajai 8 besar saat ini, telat mencapai peak performance. Empat bulan lagi, 8 Januari 2020, dia berulang tahun ke-30. Tapi, tidak ada yang menyangkal kekuatannya saat ini.
Penampilan Chou di Indonesia Open sangat epik. Rata-rata dia bermain 76 menit per pertandingan. Di final, dia menghabisi Anders Antonsen, yang tujuh tahun lebih muda darinya, dalam laga berdurasi 91 menit. Dua pekan kemudian, dia menjuarai Thailand Open. Kredit buat ketangguhan fisik dan mentalnya yang juara.
’’Tiap hari kami memperbaiki tubuhnya,’’ jelas Kao. ’’Secara fisik, dia memang meningkat. Tapi sedikit demi sedikit. Tidak drastis. Pelan, tapi pasti,’’ paparnya. Bukan hanya fisik, mentalitasnya juga membaik. Itu tidak terlepas dari kesadaran bahwa dirinya masih kurang. Selalu ada ruang untuk berbenah. Tiap hari juga, kata Kao, mereka menemukan masalah. Tapi, mereka bisa memperbaikinya bersama.
’’Kami selalu berpikir, kalau Chou bisa lebih bagus 1 persen saja, kami akan mengejarnya. Dan kami memang harus terus membaik. Sekarang zamannya pemain-pemain muda yang kuat dan cepat. Chou harus tetap rendah hati,’’ papar Kao. ’’Chou sudah 29 tahun. Tapi, dia harus seperti anak muda yang terus belajar,’’ pungkasnya.