Kalau Terlalu Ngelamak, Ditegur Saja
Menjadi operator radio di Pelabuhan Tanjung Perak membuat Anisa Adhitama mengenal banyak lelaki. Ada yang tegas, bijaksana, dan humoris. Anisa merupakan satu-satunya operator perempuan di radio pemandu kapal tersebut.
EKO HENDRI SAIFUL, Jawa Pos
’’Halo, tower 125 monitor! Perintah Mbak Icha? Tower 125 posisi? Siap Mbak Icha!” Percakapan itu terdengar di Stasiun Radio, kantor Port Operation Command Centre (POCC), Pelabuhan Tanjung Perak. Dengan wajah serius, Icha –panggilan Anisa Adhitama– memanggilmanggil salah seorang petugas pandu kapal di perairan.
Tidak jelas, siapa nama petugas pandu berkode 125 tersebut. Selama bercakap-cakap, petugas itu tak pernah memperkenalkan diri. Apalagi menyebutkan nama lengkap. Suaranya terdengar serak. Diperkirakan, usianya 35 tahun.
’’Saya sudah hafal siapa yang bicara. Ciri-cirinya jelas,” kata Icha, lantas tersenyum. Gadis 24 tahun itu menyebut tidak hanya suara satu tenaga pandu yang dihafalkannya. Setidaknya ada 102 petugas pengarah kapal yang sering kali berkomunikasi jarak jauh dengannya. Usia dan karakter mereka berbeda-beda.
Ada yang tegas, pintar, komunikatif, dan ceplas-ceplos. Ada pula yang humoris serta suka usil. Bicaranya sering ngelantur. Jarang berkomunikasi masalah pekerjaan, tapi malah curhat masalah pribadi. Semua itu ditanggapi Icha dengan santai.
’’Kalau tidak begitu, bisa stres. Hampir setiap menit ada yang memanggil-manggil minta bantuan atau arahan,” tutur Icha. Saat ditemui akhir pekan lalu, gadis itu memang terlihat sibuk
Tangannya terus saja menggenggam mikrofon. Waktu istirahat harus benar-benar diatur. Dia tidak bisa berlama-lama meninggalkan tempat duduknya. Sebab, tugas operator radio cukup vital.
Operator tidak hanya memonitor kapal masuk dan keluar di pelabuhan. Mereka juga harus stand by dan mengarahkan pandu setiap kali bekerja.
Contohnya, ada satu kapal besar yang berstatus wajib pandu. Agen perahu akan melapor dan mengajukan permohonan bantuan tenaga pandu untuk mendekat ke pelabuhan. Operator radio lantas meresponsnya. Merekalah yang akan memerintah pandu untuk bergerak ke kapal. ’’Jika posisi kapal kurang pas, kami juga memberikan informasi kepada petugas pandu. Mereka harus manut kepada kami,” tambah Icha.
Operator radio tidak saja aktif dalam kegiatan pemanduan. Mereka juga diwajibkan memberikan informasi yang dibutuhkan nakhoda. Misalnya, soal kedalaman laut atau posisi kapal. Selain itu, operator radio harus mengarahkan kapal untuk parkir terlebih dahulu jika masih terjadi penumpukan di dermaga.
Karena perannya begitu vital, diperlukan beberapa skill untuk operator radio. Selain pandai berkomunikasi, mereka harus paham soal kode-kode di dunia pelayaran. ’’Selama di sini, saya juga belajar bahasa asing dari nakhoda kapal luar negeri,” kata Icha yang sudah tiga tahun bekerja di pelabuhan.
Gadis itu menyebutkan bahwa saat ini ada 18 operator radio di Pelabuhan Tanjung Perak. Icha merupakan satu-satunya operator perempuan. Tak heran, alumnus SMKN I Buduran itu menjadi primadona di tempatnya bekerja. ’’Pastinya, sering digoda petugas pandu. Tetapi, jika terlalu ngelamak, saya tegur saja,” kata Icha, lantas tertawa. Sebab, lanjut Icha, radio harus dimanfaatkan berdasar aturan. Tidak untuk bercanda, apalagi berkaraoke.
Meski begitu, bagi Icha, godaan petugas pandu menjadi hiburan tersendiri. Apalagi, gadis yang dikenal pendiam itu tak bisa sembarangan ambil libur. Saat orangorang rekreasi pada Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2019, dia masih harus bekerja full time.
Bahkan, anak Nasarudin itu punya jadwal tugas di Pulau Karang Jamuang. Daratan yang berjarak sekitar 10 mil dari Surabaya. Di sana, dia harus menginap selama dua hari. ’’Tidak ada manusia yang hidup di Karang Jamuang. Pastinya, tidak akan banyak yang bisa diajak berkomunikasi,” tambah Icha.
Karang Jamuang memang memberi kesan tersendiri bagi Icha. Tahun lalu, dia harus berlebaran di pulau tersebut. Gadis berkerudung itu berangkat ke Karang Jamuang setelah salat Idul Fitri.
Banyak suka duka yang dirasakan Icha selama menjadi operator radio. Icha mengakui, orang tuanya sempat melarang. Mereka khawatir dengan keselamatan buah hatinya. Sebab, selain stand by menjaga radio, Icha harus naik turun kapal untuk pergi ke Karang Jamuang. Pekerjaan itu cukup berat bagi perempuan. ’’Namun, saya berhasil meyakinkan orang tua. Pekerjaan ini mulia,” kata Icha.
Kini, orang tuanya bisa memahami. Lebih senang lagi, kekasihnya yang bekerja di Pasuruan juga mengerti. Tidak banyak waktu untuk bertemu dan bersama. Mereka memiliki kesibukan masing-masing. ’’Libur kami memang tak pernah berbarengan. Kadang, dia yang mengalah dan menungguku bekerja,” tandasnya.