Doa Bersama Enam Agama buat NKRI
SURABAYA, Jawa Pos – Masa depan Indonesia yang lebih baik, tanpa perpecahan atas nama kelompok, ras, suku, dan agama, adalah harapan semua pihak. Harapan itulah yang dipanjatkan oleh puluhan orang dari enam agama dalam acara doa bersama untuk tanah air di halaman enam tempat ibadah di Royal Residence Jumat malam (16/8).
Di halaman rumah ibadah yang berjejer itu, pemeluk agama berkumpul di bawah satu tenda. Menyatu, meski perbedaan agama melekat di pakaian masingmasing. David, anggota panitia acara doa enam agama untuk NKRI itu, mengungkapkan, kegiatan tersebut dilaksanakan untuk belajar dan mewujudkan hidup guyub, rukun, dan saling toleran antarsesama. Dia berharap, upaya jalan bersama tanpa perbedaan itu menjadi inspirasi bagi warga Indonesia di mana pun berada. ”Kami rindu dengan suasana penuh kehangatan begini. Sejatinya inilah Indonesia yang harus sama-sama diwujudkan,” ujarnya.
Ketua Forum Komunikasi Rumah Ibadah Royal Residence Indra Prasetyo mengatakan, fakta bangsa Indonesia yang beragam tidak bisa dibantah. Keberagaman suku, agama, ras, dan kelompok itu tidak boleh menjadi alasan perpecahan. Justru perbedaan itulah syarat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Kalaupun perbedaan itu sempat tercoret oleh ketidaksengajaan dalam interaksi, harus disikapi dengan baik-baik. Yang paling penting dalam membangun kerukunan, menurut Indra, adalah membangun komunikasi yang baik dalam hal apa pun. ”Masalah di dalam rumah ibadah itu urusan masing-masing. Tapi, urusan di luar adalah urusan bersama, harus kompak, saling membantu, dan bersaudara,” tegasnya.
Doa bersama itu dipimpin pemuka agama masing-masing yang duduk bersanding di depan panggung. Yakni, Habib Muhammad Assegaf (Islam), Jro Mangku AKBP (pur) I Made Sukaman (Hindu), Romo RD Alphonsus Boedi Prasetijo (Katolik), Js Anuraga Taniwidjaja (Khonghucu), Ev. Danny Nobret (Kristen), dan Romo Sakyaputra (Buddha).
Di akhir acara, warga Royal Residence beramah-tamah dan nonton bareng tayangan dokumenter yang langsung dijelaskan oleh pelaku sejarah Edi Murdiyanto, punawirawan TNI yang kebetulan warga setempat. ”Belajar sejarah itu bukan seperti menonton film, namun memandang masa lalu sekaligus menatap masa depan bangsa,” ujarnya.