Pakai Google Translate untuk Riset
Ketika Warga Portugal Menikah dengan Adat Sunda
SURABAYA, Jawa Pos – Sebelum melangsungkan akad nikah dalam adat Sunda, prosesi ngeuyeuk seureuh sebaiknya dilakukan satu hari sebelumnya. Dalam prosesi itu, kedua calon pengantin meminta izin kepada kedua orang tua. Tahapan panjang tersebut dijalani Dianna Priscylia Kusuma Dewi dan Hugo Emanuel Reis Carvalho pada Jumat malam (16/8) di rumah mempelai perempuan di kawasan Deltasari.
Meski keduanya tak lahir di tanah Sunda, pasangan yang bertemu kali pertama saat sama-sama kuliah di Swiss tersebut sejak awal berniat menjalani pernikahan adat Sunda. ”Karena setelah menikah, kami akan tinggal di luar. Jadi kenang-kenangan lah sekali seumur hidup,” ucap Dianna.
Rencananya, setelah menikah, pasangan tersebut tinggal di negara asal Hugo, Portugal. Panjangnya prosesi tak membuat keduanya kelelahan, bahkan tawa dan senyum lebar terus hadir di wajah keduanya. Hugo mengaku penasaran dengan makna setiap tahapan. ”Selain dijelaskan Dianna, aku baca dan riset di internet,” ucap Hugo diikuti wajah kaget Dianna.
Perempuan kelahiran Surabaya tersebut tak menyangka calon suaminya rela melakukan riset di internet untuk memahami tahapan pernikahan khas Sunda. Dia baru tahu fakta tersebut malam itu.
Minimnya artikel mengenai pernikahan khas Sunda dalam bahasa Indonesia membuat Hugo bergantung pada Google Translate. Memang banyak kata yang belum ada padanannya. Misalnya, seserahan dan siraman.
Hugo harus mencari penjelasan lebih panjang dan sering kali tetap tak memahaminya. Salah satunya, siraman. Hugo membaca bahwa siraman adalah prosesi calon pengantin perempuan dimandikan kedua orang tua. ”I am confused. But, how old are you? Why do you take shower with your parents?” ucapnya, kemudian tertawa.
Bagi Hugo, permintaan Dianna untuk menjalani prosesi adat bukanlah hal rumit. Sejak berpacaran tiga tahun lalu, Hugo mengetahui kebiasaan Dianna dan kecintaannya terhadap identitasnya. ”Saat di Swiss dulu Hugo suka temani aku ikut lomba 17-an di embassy,” kenang perempuan 26 tahun itu.
Hugo mengatakan, perbedaan budaya keduanya harus dihadapi sejak awal pernikahan. ”Kalau tidak dihadapi sekarang, nanti jadi masalah di masa depan,” sahut alumnus Glion Institute of Higher Education, Swiss, itu.