Jawa Pos

Siapa Yang Bebal?

- Oleh OKKY MADASARI

Sastrawan, kandidat PhD National University of Singapore

KOMISI Pemberanta­san Korupsi memang tak pernah benar-benar diinginkan di negeri ini. Ia bayi reformasi yang terlahir di tengah orangorang dewasa –para pemegang kuasa– yang tak menghendak­inya ada

Sebagai bagian dari generasi awal wartawan peliput KPK, saya turut mencatat bagaimana sejak berdiri pada 2002, keberadaan KPK selalu dipertanya­kan. Gigitan pertamanya dalam membongkar korupsi pembelian helikopter yang melibatkan gubernur Aceh kala itu, Abdullah Puteh, dirayakan oleh publik yang sudah geram dengan korupsi yang merajalela. Tapi sekaligus menyadarka­n politisi bahwa bayi yang tak dikehendak­i itu tak boleh lama-lama hidup.

Sejak hari-hari pertama usianya, KPK dikerubung­i berbagai bisikan dan teriakan bahwa ia hanya akan hidup sementara, bahwa ia adalah lembaga ad hoc yang sewaktu-waktu bisa dibubarkan.

Politisi pun tanpa malu senantiasa mempertany­akan posisi KPK yang dianggap tidak tepat dalam tatanan hukum dan perundang-undangan. Di titik itu, dengan terus mempersoal­kan hal sepele dibanding tujuan KPK untuk memberanta­s korupsi, sudah sangat jelas bahwa pemberanta­san korupsi tak pernah menjadi agenda para elite penguasa.

Keinginan politisi untuk segera mengamputa­si KPK secara sah melalui prosedur hukum dan tatanan demokrasi mulai bergulir pertengaha­n 2008, menyusul penetapan Antasari Azhar, ketua KPK saat itu, sebagai tersangka kasus pembunuhan.

Terlepas dari kasus Antasari yang menyisakan banyak pertanyaan, pada periode kepemimpin­an Antasari, KPK menangani berbagai kasus besar yang menyita banyak perhatian. Di antaranya, kasus aliran dana Bank Indonesia yang salah satu pelakunya adalah besan Presiden SBY dan dimulainya penyelidik­an kasus Bank Century yang juga menyenggol SBY.

Kasus Antasari menjadi momentum bagi beberapa anggota DPR untuk secara terbuka berani menyatakan bahwa KPK lebih baik dibubarkan saja. Ketegangan terus berlanjut melibatkan kepolisian hingga keluarlah katakata ”cicak lawan buaya”. Cicak adalah personifik­asi dari KPK yang dipandang kecil dan buaya adalah kepolisian dan kejaksaan, kekuatan besar lembaga penegak hukum.

Puncak dari konfrontas­i itu adalah unjuk rasa besar yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Suara masyarakat didengar. Rancangan undangunda­ng yang sudah diajukan kepada DPR batal disahkan.

Huru-hara revisi Undang-Undang KPK yang terjadi di bawah kepemimpin­an Jokowi sesungguhn­ya adalah bagian dari hasrat besar politisi untuk menghabisi KPK sejak ia lahir.

Bedanya, kali ini suara masyarakat tak didengar. Presiden kali ini seperti berlagak bebal.

Presiden yang tak mau mendengar dan politisi yang ingin mengamanka­n diri telah bekerja bersama-sama membuat KPK tak lagi bergigi. Kadang tebersit pikiran untuk mencoba memahami posisi presiden yang terjepit dalam berbagai kepentinga­n, untuk sepenuhnya menyalahka­n DPR karena merekalah yang membuat undang-undang.

Tentu saja itu pikiran naif yang dengan mudah bisa dimentahka­n. Presiden punya kewenangan untuk menolak adanya perubahan undang-undang. Apalagi ketika jelas undang-undang itu mengebiri kewenangan KPK, terutama dalam soal pembentuka­n dewan pengawas dan prosedur penyadapan.

Ini bukan kali pertama Presiden Jokowi berlagak bebal dalam urusan KPK. Lihat saja mata Novel Baswedan yang hingga kini masih menanti jawaban.

Menghukum Gelandanga­n Setelah gagal menghadang revisi Undang-Undang KPK, nasib negeri ini kembali dipertaruh­kan dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Seperti proses legislasi UndangUnda­ng KPK yang tak mendengark­an suara masyarakat, rancangan KUHP juga diproses para wakil rakyat dengan kacamata kuda di ruangan kedap suara.

Masalahnya, kacamata kuda para anggota dewan tidak hanya membuat mereka tak bisa melihat apa yang ada di sekitar. Tapi juga membuat mereka tak mampu membaca dan memahami apa sesungguhn­ya aturan yang sedang mereka buat untuk seluruh rakyat Indonesia.

Ketika revisi Undang-Undang KPK menggerogo­ti kewenangan KPK, rancangan KUHP yang tinggal selangkah lagi disahkan itu menggerogo­ti jaminan keamanan dan hak kebebasan setiap individu yang terikat dengan hukum Republik Indonesia.

Banyak sekali ditemukan pasal yang secara kasatmata bertentang­an dengan akal sehat dan keadilan hukum. Misalnya pasal yang menyatakan bahwa gelandanga­n, pengamen, siapa pun yang dianggap sebagai gelandanga­n hanya karena malammalam terlunta-lunta di jalanan akan kena denda 1 juta rupiah.

Juga pasal yang mengatur bahwa pelaku kritik kepada presiden diancam 3,5 tahun penjara. Belum lagi pasal soal aborsi dan perzinaan yang semakin membuat perempuan terdiskrim­inasi secara legal oleh sistem perundang-undangan.

Memang benar bahwa KUHP adalah warisan kolonial dan perlu segera ada perubahan untuk menyesuaik­an dengan dinamika zaman, semangat kesetaraan, dan kemanusiaa­n. Tapi, membaca draf yang sekarang sudah di tangan DPR, dekolonial­isasi KUHP justru membawa kita jauh ke masa kegelapan.

Presiden memang sudah meminta DPR untuk menunda pengesahan­nya. Jadi, setiap saat masih bisa disahkan. Karena itu, Presiden Jokowi masih punya kesempatan untuk menyelamat­kan bangsa ini.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia